Rabu, 20 November 2024
Wahyu 4:1-11 dan Lukas 19:11-28 adalah dua teks Kitab Suci yang, meskipun berasal dari konteks yang berbeda, menyajikan gambaran tentang kemuliaan ilahi dan tanggung jawab manusia di hadapan Allah. Kedua bacaan ini mengundang kita untuk merenungkan kehadiran Tuhan yang penuh kuasa di dalam hidup kita dan bagaimana kita dipanggil untuk merespons panggilan itu dengan kesetiaan.
Dalam Wahyu 4:1-11, Yohanes menghadirkan penglihatan tentang tahta Allah di surga. Ia menggambarkan kemuliaan Tuhan dalam bahasa simbolis yang penuh warna, di mana empat makhluk hidup dan dua puluh empat tua-tua memuji kebesaran Allah tanpa henti. Penglihatan ini membawa kita pada kesadaran bahwa di pusat seluruh keberadaan, ada Tuhan yang memerintah dengan kekudusan dan keadilan. Ahli tafsir kitab suci Raymond E. Brown dalam “An Introduction to the New Testament” (1997) menekankan bahwa gambaran tahta ini menunjukkan kebesaran dan kemuliaan Tuhan yang tidak tertandingi, sementara para tua-tua mewakili umat Allah di sepanjang zaman, yang dengan penuh hormat meletakkan mahkota mereka di hadapan Allah, mengakui bahwa segala kekuasaan berasal dari-Nya.
Sementara itu, dalam Lukas 19:11-28, Yesus menyampaikan perumpamaan tentang uang mina. Ini adalah kisah tentang seorang bangsawan yang pergi ke negeri jauh untuk menerima kerajaan, tetapi sebelum ia pergi, ia mempercayakan sejumlah uang kepada hamba-hambanya. Setiap hamba dituntut untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dipercayakan kepadanya ketika sang bangsawan kembali. Joseph A. Fitzmyer dalam “The Gospel According to Luke X–XXIV” (1985) mengamati bahwa perumpamaan ini mencerminkan tanggung jawab dan kesetiaan yang harus dimiliki oleh setiap pengikut Kristus. Yesus mengingatkan bahwa kehidupan beriman bukanlah sesuatu yang pasif, tetapi penuh dengan dinamika dan tuntutan untuk menggunakan talenta dan berkat yang telah diberikan Tuhan demi kebaikan bersama.
Kedua bacaan ini memberikan kontras yang mendalam: Wahyu 4 menggambarkan dunia surgawi yang memusatkan perhatian pada keagungan Allah, sedangkan Lukas 19 berbicara tentang dunia kita yang penuh dengan tantangan dalam melayani Tuhan. Namun, ada benang merah yang mengikat keduanya—yaitu pengakuan akan kedaulatan Allah dan panggilan untuk bertindak dengan setia dalam kehidupan kita. Gambaran tahta Tuhan di surga menegaskan bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya dan pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Maka, ketika kita diundang untuk menggunakan apa yang telah dipercayakan kepada kita, kita melakukannya bukan untuk kemuliaan kita sendiri, tetapi untuk kemuliaan Dia yang duduk di atas tahta.
Scott Hahn, dalam “The Lamb’s Supper: The Mass as Heaven on Earth” (1999), melihat Wahyu 4 sebagai sebuah liturgi surgawi yang mencerminkan apa yang terjadi dalam Ekaristi. Di dalam Ekaristi, kita, seperti dua puluh empat tua-tua, datang ke hadirat Tuhan, mempersembahkan hidup kita, dan menerima anugerah-Nya. Maka, setiap tindakan kebaikan, setiap tanggung jawab yang kita jalani, seperti dalam perumpamaan tentang uang mina, adalah bagian dari persembahan kita di hadapan Tuhan. Semua itu menjadi ibadah yang hidup, tanda kesetiaan kita di hadapan Raja yang agung.
Tidak ada yang lebih indah daripada menyadari bahwa hidup kita adalah bagian dari suatu liturgi yang besar. Di satu sisi, kita mengarahkan pandangan kita kepada keindahan dan kemuliaan Allah, seperti yang tergambar dalam Wahyu. Di sisi lain, kita tetap berpijak di bumi, berusaha sebaik mungkin dengan apa yang telah Tuhan berikan kepada kita, sebagaimana diuraikan dalam Lukas. Santo Agustinus dalam “The City of God” (426) mengajarkan bahwa umat beriman hidup dalam dua kota: kota Allah yang kekal dan kota manusia yang fana. Meskipun kita belum sepenuhnya berada di kota Allah, kita dipanggil untuk mencerminkan kemuliaannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Kombinasi antara kemuliaan Allah yang tak terselami dan tanggung jawab kita di bumi mengajarkan tentang sikap rendah hati dan kesediaan untuk melayani. Sebagaimana tua-tua dalam Wahyu meletakkan mahkota mereka di hadapan Tuhan, kita pun diundang untuk menyerahkan setiap hasil kerja kita, setiap pencapaian kita, sebagai persembahan yang tulus kepada-Nya. Dan seperti hamba yang setia dalam Lukas, kita dipanggil untuk menggunakan segala yang Tuhan telah berikan dengan bijak dan bertanggung jawab.
Refleksi ini menjadi pengingat bahwa penghakiman akhir bukanlah sekadar evaluasi, tetapi sebuah undangan untuk masuk ke dalam persekutuan yang penuh kasih dengan Allah yang Mahakudus. Di sinilah kita menemukan makna hidup yang sejati: bahwa segala sesuatu, mulai dari tugas yang paling sederhana hingga panggilan yang terbesar, semuanya diarahkan untuk memuliakan Allah. Ketika kita akhirnya berdiri di hadapan tahta-Nya, semoga kita dapat menyerahkan seluruh hidup kita sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan di hadapan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA:
- Brown, Raymond E. An Introduction to the New Testament. Doubleday, 1997.
- Fitzmyer, Joseph A. The Gospel According to Luke X–XXIV. Anchor Bible, 1985.
- Hahn, Scott. The Lamb’s Supper: The Mass as Heaven on Earth. Doubleday, 1999.
- Agustinus, Santo. The City of God. Penguin Classics, 426.