Di tengah perjalanan iman yang seringkali diliputi kekeringan dan kelelahan, Yesaya 25:6-10a dan Matius 15:29-37 menghadirkan gambaran penuh harapan tentang pemulihan. Kedua teks ini tidak hanya mengungkapkan tindakan Allah yang berdaulat, tetapi juga menegaskan keintiman-Nya dengan umat manusia. Yesaya melukiskan sebuah perjamuan besar yang dipersembahkan Tuhan di Gunung Sion, sementara Injil Matius mencatat mukjizat penggandaan roti yang dilakukan Yesus di tengah kerumunan yang lapar. Dalam dua peristiwa ini, kita menemukan pesan universal tentang pemeliharaan dan kasih Allah.
Yesaya mengawali nubuatnya dengan gambaran perjamuan yang kaya akan makanan lezat dan anggur terbaik. Gambaran ini bukan sekadar pesta; ia melambangkan janji Allah untuk memulihkan umat-Nya, menghapus air mata, dan menghancurkan maut. Raymond E. Brown dalam The Anchor Bible Commentary (1997) menjelaskan bahwa simbolisme ini menunjukkan penggenapan eskatologis, ketika Allah memulihkan hubungan manusia dengan diri-Nya secara sempurna. Tindakan Allah yang “menghapus kain kabung” adalah janji konkret bahwa penderitaan manusia tidak akan pernah menjadi akhir cerita.
Beranjak ke Injil Matius, kita melihat Yesus sebagai representasi nyata dari janji tersebut. Dalam mukjizat penggandaan roti, Yesus tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik tetapi juga menghadirkan kerajaan Allah secara nyata di dunia. Ulrich Luz dalam komentarnya, Matthew: A Commentary (2001), menekankan bahwa tindakan Yesus memberi makan empat ribu orang adalah tanda kehadiran Allah yang penuh belas kasih. Yesus tidak bertanya siapa mereka atau dari mana mereka berasal; kasih-Nya melintasi batas-batas sosial dan budaya.
Bayangkanlah sejenak, kerumunan itu—mereka yang kelelahan dan lapar setelah mengikuti Yesus di sepanjang bukit Galilea. Wajah-wajah penuh harap, tangan-tangan yang lelah, dan suara-suara kecil dari anak-anak yang meminta makanan. Dalam situasi ini, Yesus memandang mereka dengan belas kasih yang mendalam, sebuah refleksi langsung dari hati Allah. Melalui tindakan-Nya, Yesus menunjukkan bahwa kebutuhan manusia, baik jasmani maupun rohani, adalah perhatian Allah.
Kedua teks ini saling melengkapi. Apa yang dinubuatkan Yesaya tentang perjamuan ilahi menjadi nyata dalam pelayanan Yesus. Keduanya menegaskan bahwa Allah bukan hanya menyaksikan penderitaan dari kejauhan, tetapi hadir untuk menanggungnya bersama umat manusia. Dalam kedua peristiwa ini, kita juga melihat keterlibatan manusia. Dalam Yesaya, bangsa-bangsa datang ke gunung Tuhan untuk bersukacita, sementara dalam Matius, para murid Yesus berperan aktif dalam membagikan roti dan ikan. Allah selalu mengundang manusia untuk berpartisipasi dalam karya pemulihan-Nya.
Teolog Hans Urs von Balthasar dalam Love Alone is Credible (2005) mengingatkan kita bahwa tindakan kasih Allah adalah pusat dari seluruh kisah Alkitab. Melalui simbolisme perjamuan dan mukjizat penggandaan roti, kita diajak untuk mempercayai kasih Allah yang tak terbatas. Kasih ini tidak hanya memberi makan yang lapar tetapi juga memberikan pengharapan di tengah keputusasaan.
Ketika merenungkan teks ini dalam konteks hidup kita saat ini, kita diingatkan bahwa Allah terus bekerja di dunia. Dia hadir dalam kebersamaan kita di meja makan keluarga, dalam pelayanan kepada yang membutuhkan, dan dalam doa-doa kita yang terucap di saat-saat sepi. Apa yang Yesaya dan Matius sampaikan adalah undangan untuk percaya pada Allah yang memulihkan dan menyegarkan kita setiap hari.
Daftar Pustaka
- Brown, Raymond E. The Anchor Bible Commentary. New York: Doubleday, 1997.
- Luz, Ulrich. Matthew: A Commentary. Minneapolis: Augsburg Fortress, 2001.
- Balthasar, Hans Urs von. Love Alone is Credible. San Francisco: Ignatius Press, 2005.