Kamis, 26 Desember 2024
Hari ini, Gereja merayakan Pesta Santo Stefanus, martir pertama yang menjadi teladan keberanian iman dan kasih yang melampaui kebencian. Bacaan dari Kisah Para Rasul 6:8-10; 7:54-59 dan Injil Matius 10:17-22 mengundang kita merenungkan panggilan seorang murid untuk tetap setia, bahkan di tengah ancaman yang mengintimidasi. Stefanus, seorang diakon yang dipenuhi Roh Kudus, menghadapi pertentangan keras dari mereka yang tidak mampu melawan hikmat dan Roh yang menguasainya. Namun, kesaksiannya justru memunculkan kebencian yang berujung pada kemartiran.
Dalam Kisah Para Rasul, kita melihat gambaran Stefanus yang bercahaya seperti malaikat saat berbicara di hadapan Mahkamah Agama. Kebencian yang membakar hati para penuduhnya tidak mampu meredam cahaya yang terpancar dari iman Stefanus. Raymond E. Brown (1997) dalam “Introduction to the New Testament” menyoroti bagaimana Stefanus menampilkan “kemenangan iman di atas ketakutan,” sebuah kesaksian yang tidak hanya berbicara kepada para penuduhnya tetapi juga kepada generasi gereja sepanjang masa.
Ketika Stefanus dirajam, seruannya kepada Allah mencerminkan Kristus di salib. “Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka,” ucapnya. Ini adalah tindakan kasih yang radikal, melampaui batas akal manusia. Hans Urs von Balthasar (1998) dalam “The Glory of the Lord: A Theological Aesthetics” menyatakan bahwa kemartiran Stefanus adalah manifestasi kasih Allah yang tidak bersyarat, yang menyatu dengan kehendak Bapa hingga akhir.
Di sisi lain, Injil Matius 10:17-22 membawa pesan serupa: para murid akan diserahkan kepada pengadilan, dianiaya, bahkan dibenci karena nama Yesus. Namun, Yesus menegaskan bahwa Roh Bapa akan berbicara melalui mereka. Dalam konteks ini, Stefanus menjadi penggenapan nyata janji Kristus. Penafsir terkenal Joachim Jeremias (1968) dalam “The Parables of Jesus” mengingatkan bahwa kata-kata Yesus ini adalah penguatan bagi setiap murid-Nya yang dipanggil untuk berani bersaksi di tengah ancaman.
Kemartiran Stefanus mengajarkan bahwa kesaksian iman tidak hanya berbicara dalam kata-kata tetapi juga melalui tindakan kasih yang memaafkan. Santo Agustinus menulis, “Darah para martir adalah benih bagi Gereja.” Stefanus membuka jalan bagi banyak orang untuk berani mengambil bagian dalam salib Kristus, bahkan dalam penderitaan yang paling menyakitkan.
Merenungkan perayaan ini, kita diingatkan bahwa kekristenan bukanlah jalan yang bebas dari penderitaan, tetapi panggilan untuk mencintai hingga tuntas, seperti yang dilakukan Stefanus. Ia menghadap Allah dengan hati yang penuh kasih, tanpa dendam. Martir pertama ini mengingatkan kita bahwa iman yang sejati adalah menyinarkan kasih Allah, bahkan di tengah kebencian yang paling gelap.
Daftar Pustaka:
- Brown, Raymond E. (1997). Introduction to the New Testament. New York: Doubleday.
- Balthasar, Hans Urs von. (1998). The Glory of the Lord: A Theological Aesthetics. San Francisco: Ignatius Press.
- Jeremias, Joachim. (1968). The Parables of Jesus. London: SCM Press.
- Agustinus, Santo. (2005). The City of God. New York: Penguin Classics.