Rabu, 8 Januari 2025
Cinta yang Menenangkan Badai
Dalam surat pertama Yohanes, kita diajak untuk merenungkan esensi cinta yang sejati. “Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka kita juga harus saling mengasihi.” Pernyataan ini menyentuh inti keberadaan manusia, mengarahkan kita pada kesadaran bahwa cinta adalah dasar dari semua relasi. Namun, Yohanes tidak berhenti pada cinta manusia; ia menyingkapkan cinta ilahi yang sempurna, yang menghapuskan ketakutan. “Di dalam kasih tidak ada ketakutan; kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan.” Bagaimana kita memahami kasih yang sempurna ini?
Di sinilah Injil Markus memberi kita gambaran konkret tentang bagaimana Yesus, sebagai perwujudan kasih Allah, hadir di tengah badai. Para murid, setelah menyaksikan mukjizat Yesus memberi makan lima ribu orang, kini terombang-ambing di tengah danau. Ketakutan mereka melambangkan kerapuhan iman manusia. Namun, Yesus berjalan di atas air, mendekati mereka dengan kalimat yang sederhana tetapi penuh kuasa: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” Kehadiran-Nya adalah bukti bahwa kasih yang sejati hadir bahkan di tengah kekacauan terbesar.
Menurut William Barclay (1975), kisah ini adalah alegori iman. Badai mewakili pergumulan hidup, sementara Yesus adalah jangkar yang menenangkan hati. Dalam tulisannya, Barclay mencatat bahwa “kehadiran Yesus tidak selalu menghapus badai, tetapi selalu memberikan kekuatan untuk menghadapinya.” Dalam konteks ini, kasih Allah yang disebut Yohanes dan tindakan Yesus dalam Markus bertemu dalam harmoni yang indah. Kasih ilahi bukanlah konsep abstrak, tetapi kehadiran nyata yang mengatasi ketakutan.
Anthony Thiselton (2007) mengungkapkan dalam tafsirannya bahwa cinta ilahi dalam 1 Yohanes melampaui batas manusiawi. “Kasih Allah bukan hanya panggilan moral, tetapi daya transformasi yang memampukan manusia untuk hidup melampaui kecemasan dan kekhawatiran.” Ketika kasih ini dihayati, manusia mampu menghadapi badai hidup tanpa gentar, sebab mereka tahu bahwa cinta ilahi melingkupi segala hal.
Bagi para murid di dalam perahu, seperti bagi kita, pesan Yohanes dan Markus bersatu. Allah yang mengasihi kita memampukan kita untuk saling mengasihi, bahkan dalam menghadapi badai kehidupan. Di tengah ketakutan kita, Dia hadir, berjalan di atas air ketakutan kita, dan berkata, “Tenanglah.” Kehadiran ini mengajarkan bahwa tidak ada badai yang terlalu besar bagi kasih Allah yang sempurna.
Sebagai penutup, refleksi ini mengajak kita untuk merenungkan: bagaimana kita merespons kasih Allah yang sempurna? Apakah kita membiarkan kasih itu menyingkirkan ketakutan kita, atau kita tetap terjebak dalam badai keraguan? Markus dan Yohanes memberi jawaban yang sama: terimalah kasih Allah, dan kasih itu akan menjadi jangkar yang menenangkan jiwa.
Daftar Pustaka
- Barclay, William. The Gospel of Mark: Daily Study Bible Series. Westminster John Knox Press, 1975.
- Thiselton, Anthony C. The First Epistle to the Corinthians: A Commentary on the Greek Text. Eerdmans Publishing, 2007.
- Brown, Raymond E. The Epistles of John. Anchor Bible, 1982.
- Keener, Craig S. The IVP Bible Background Commentary: New Testament. IVP Academic, 1993