Kamis, 9 Januari 2025 – Kasih yang Melampaui Segala dan Kabar Baik bagi Semua
“Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:8). Pernyataan Yohanes ini menjadi inti dari pesan Kristiani: bahwa kasih adalah hakikat Allah sendiri. Bacaan dari 1 Yohanes 4:19-5:4 mengundang kita untuk merenungkan panggilan mendalam untuk hidup dalam kasih. Di dalam kasih, kita menemukan keberanian untuk mengatasi dunia, sebagaimana dikatakan, “Segala sesuatu yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia” (1 Yoh. 5:4). Mengasihi sesama menjadi perwujudan konkret iman kita kepada Allah. Tanpa kasih, iman kehilangan maknanya dan menjadi sekadar ritual kosong.
Kasih yang dibahas oleh Yohanes bukanlah kasih yang bersifat abstrak, melainkan kasih yang melibatkan tindakan nyata, sebagaimana Kristus memberikan diri-Nya untuk keselamatan umat manusia. Dalam pandangan teolog Karl Rahner (1966), kasih adalah pengalaman transendental yang menghubungkan manusia dengan yang Ilahi. Rahner menegaskan bahwa ketika manusia mengasihi, ia sesungguhnya merespons undangan Allah untuk berpartisipasi dalam keberadaan-Nya.
Dalam injil Lukas 4:14-22a, kita melihat bagaimana kasih ini terwujud dalam misi Yesus. Dia memulai pelayanan-Nya dengan memberitakan kabar baik kepada orang miskin, pembebasan kepada yang tertawan, dan penglihatan kepada yang buta. “Roh Tuhan ada pada-Ku,” demikian sabda-Nya, menggenapi nubuat Yesaya. Kabar baik ini bukan sekadar wacana, melainkan tindakan nyata yang memulihkan martabat manusia.
Yesus tidak memilih tempat yang megah atau audiens yang berkuasa untuk menyampaikan misi-Nya. Ia memulai di sinagoga Nazaret, tempat asal-Nya. William Barclay (1975) dalam The Gospel of Luke mencatat bahwa ini menunjukkan keberanian Yesus dalam menantang norma sosial dan keagamaan pada zamannya. Barclay mengungkapkan bahwa tindakan Yesus yang membaca nubuat Yesaya dan menyatakan penggenapannya adalah deklarasi bahwa kerajaan Allah bukanlah perkara masa depan semata, tetapi sudah hadir di tengah-tengah umat manusia.
Refleksi dari kedua bacaan ini membawa kita pada pemahaman bahwa iman Kristen selalu mengarah pada kasih yang aktif dan misi yang inklusif. Mengasihi Allah berarti mengasihi sesama, termasuk mereka yang terpinggirkan. Yohanes dan Lukas seakan-akan menyuarakan satu pesan: kasih tidak bisa dilepaskan dari tindakan.
Di tengah dunia yang sering kali dipenuhi ketidakadilan, misi kasih yang Yesus teladankan menantang kita untuk menjadi pembawa kabar baik. Kita dipanggil untuk bertindak seperti Dia, mengasihi tanpa syarat, melayani tanpa pamrih, dan membawa pembebasan kepada mereka yang terbelenggu, baik secara fisik maupun spiritual.
Dalam konteks modern, teolog Elizabeth Johnson (1992) menekankan bahwa peran orang Kristen adalah menjadi “ikon kasih Allah di dunia.” Melalui refleksi ini, kita diajak untuk tidak hanya merenungkan kasih Allah, tetapi juga menjadi saluran kasih tersebut. Seperti Yesus yang menjadi terang bagi dunia, kita juga dipanggil untuk membawa terang itu ke dalam setiap sudut kehidupan kita.
Semoga refleksi ini menginspirasi kita untuk tidak hanya membaca dan mendengar firman, tetapi juga hidup dalam kebenarannya.
Daftar Pustaka
- Barclay, William. The Gospel of Luke. Edinburgh: Saint Andrew Press, 1975.
- Johnson, Elizabeth A. She Who Is: The Mystery of God in Feminist Theological Discourse. New York: Crossroad, 1992.
- Rahner, Karl. Foundations of Christian Faith: An Introduction to the Idea of Christianity. New York: Seabury Press, 1966.