Pesta Pembaptisan Tuhan, Minggu 12 Januari 2025
Pagi itu, embun masih menetes di daun-daun ketika kerumunan berdiri di tepi Sungai Yordan. Ada kegelisahan di udara, seolah setiap napas membawa harapan dan pertanyaan. Yohanes Pembaptis, dengan jubah kasarnya dan suara yang seperti guruh, berdiri di tengah mereka. “Aku membaptis kamu dengan air,” katanya. “Tetapi akan datang Dia yang lebih berkuasa daripadaku.” Mereka yang mendengar, mulai saling berbisik, mencoba menebak siapa yang dimaksud Yohanes.
Di antara mereka, tanpa banyak bicara, seorang pria muda melangkah maju. Dia bukan siapa-siapa bagi banyak orang di sana—hanya seorang tukang kayu dari Nazaret. Tapi ada sesuatu dalam caranya melangkah, tenang dan teguh, seperti sungai yang tahu ke mana ia mengalir. Ketika Yohanes melihat-Nya, ia tertegun. Mata mereka bertemu, dan dalam diam itu Yohanes tahu: inilah Dia.
Air yang dingin menyentuh kaki Yesus saat Ia turun ke sungai. Di hadapan orang banyak, Dia membungkuk dalam kerendahan hati, membiarkan Yohanes menuangkan air di atas kepala-Nya. Dalam momen itu, dunia seakan berhenti. Langit terbuka, dan suara terdengar, lembut tetapi menggetarkan, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.”
Hari ini, ketika kita merayakan Pesta Pembaptisan Tuhan, kita diajak untuk tidak hanya mengingat momen historis itu, tetapi juga merasakannya di hati kita. Yesaya, dalam nubuatannya, berbicara tentang penghiburan yang dijanjikan Allah. “Hiburkanlah umat-Ku,” katanya. Ia mengundang kita untuk membayangkan jalan yang diratakan, lembah yang ditinggikan, gunung yang direndahkan—sebuah dunia di mana kasih Allah membuat segalanya menjadi mungkin. Walter Brueggemann dalam Theology of the Old Testament menyebutkan bahwa ini adalah panggilan untuk mempercayai bahwa penghiburan Tuhan bukan janji kosong, melainkan pengumuman perubahan yang akan terjadi dalam dunia yang sering kali terasa tak berpengharapan.
Dalam Surat kepada Titus, kasih karunia Allah tampil seperti cahaya yang menyinari kegelapan. Paulus mengingatkan bahwa kasih karunia itu tidak hanya menyelamatkan, tetapi juga mengubah kita. Pembaptisan, seperti yang dijelaskan oleh Jerome D. Quinn dalam The Letter to Titus, adalah gerbang menuju kehidupan yang baru. Ini bukan sekadar air yang menyentuh tubuh, tetapi rahmat yang membanjiri jiwa.
Namun, semuanya berpuncak di Yordan, di mana Yesus, Anak Allah, memilih untuk turun ke dalam air seperti orang biasa. Dalam tindakan-Nya, kita melihat solidaritas yang mendalam. N.T. Wright dalam Luke for Everyone menyebut pembaptisan ini sebagai deklarasi misi: Yesus datang bukan untuk memerintah dari atas, tetapi untuk berjalan di tengah kita, memahami perjuangan kita, dan menunjukkan jalan kepada kita.
Mungkin ada kalanya hidup kita terasa seperti Sungai Yordan—gelap, dingin, penuh dengan keraguan. Namun, di sanalah kasih Allah melintasi batas, membuka langit, dan berbicara ke dalam jiwa kita: “Engkaulah anak-Ku yang Kukasihi.” Pesan ini bukan hanya untuk Yesus; ini adalah pesan untuk setiap dari kita yang pernah merasa tidak cukup, yang pernah bertanya-tanya apakah kita dicintai.
Pembaptisan adalah pengingat bahwa kasih Allah tidak pernah berhenti mengalir. Seperti sungai yang terus mencari laut, kasih itu menemukan kita di mana pun kita berada, membawa kita ke tempat yang lebih dalam, lebih penuh dengan kehidupan.
Hari ini, ketika kita merenungkan Yesus di Sungai Yordan, bayangkan air itu menyentuh kaki kita, membasuh setiap rasa takut, setiap kegagalan, setiap luka. Langit terbuka bukan hanya untuk Dia, tetapi juga untuk kita. Kasih Allah turun, membawa kita lebih dekat kepada-Nya, kepada harapan, kepada kehidupan yang diperbarui.
Daftar Pustaka
- Brueggemann, Walter. Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy. Fortress Press, 1997.
- Quinn, Jerome D. The Letter to Titus: A New Translation with Notes and Commentary and an Introduction to Titus, I and II Timothy, the Pastoral Epistles. Yale University Press, 1990.
- Wright, N.T. Luke for Everyone. Westminster John Knox Press, 2001.