KAMIS PUTIH, 17 APRIL 2025
Malam mulai turun di Yerusalem. Angin membawa sunyi yang tak biasa. Di sebuah ruangan yang diterangi lampu minyak, dua belas murid duduk bersama Sang Guru yang mereka cintai. Mereka tak tahu bahwa malam itu, sebuah perjamuan akan menjadi kenangan abadi, bahwa sepotong roti dan secawan anggur akan mengubah dunia.
Perjamuan itu tidak dimulai dengan kata-kata agung, tetapi dengan tindakan sederhana: membasuh kaki. Yesus, Tuhan dan Guru mereka, bangkit dari duduk-Nya, menanggalkan jubah, mengambil kain lenan dan baskom berisi air. Lalu, Ia menunduk di hadapan murid-murid-Nya. Air menetes perlahan membasuh debu jalanan dari kaki-kaki lelah mereka. Tindakan ini bukan sekadar pelayanan; ini adalah lambang kasih tanpa syarat—suatu liturgi kerendahan hati.
Dalam Yohanes 13:1-15, tindakan Yesus ini adalah puncak dari kasih yang “telah mengasihi mereka yang adalah milik-Nya di dunia.” Raymond Brown, dalam karya magisnya The Gospel According to John (1970), mencatat bahwa pembasuhan kaki bukan hanya pelayanan sosial, tetapi teologi yang hidup: kasih yang bersedia merendah, kasih yang menanggalkan keagungan demi menjangkau manusia.
Namun Kamis Putih bukan hanya tentang pelayanan. Di tengah malam itu, Yesus mengulangi perintah kuno dari zaman Musa, saat darah anak domba melindungi bangsa Israel di malam pembebasan dari Mesir. Dalam Keluaran 12:1-14, perjamuan Paskah menjadi ritual pengingat: pembebasan adalah karya Allah, dan umat dipanggil untuk terus-menerus menghidupi momen itu.
Paulus, dalam 1 Korintus 11:23-26, menghadirkan kembali malam perjamuan itu dengan kesungguhan mendalam: “Setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.” Bagi teolog Scott Hahn dalam The Lamb’s Supper (1999), Ekaristi bukanlah sekadar kenangan, tetapi partisipasi nyata dalam pengorbanan Kristus yang satu dan kekal.
Kamis Putih adalah misteri agung: Tuhan yang melayani, Roti yang menjadi Tubuh, Darah yang dicurahkan sebagai kasih, dan Air yang mengalir sebagai pengampunan. Dalam dunia yang gemar mengangkat diri, Yesus justru membungkuk. Dalam zaman yang mendewakan kekuasaan, Ia memilih untuk menjadi hamba.
Hari ini, ketika dunia penuh kecemasan, perpecahan, dan rasa lelah, pesan Kamis Putih menjadi sangat relevan. Kita dipanggil untuk melayani, bukan menguasai; untuk membagi roti kehidupan, bukan memperebutkan remah-remahnya. Di tengah krisis dan keletihan sosial, Ekaristi mengingatkan bahwa kasih tidak pernah lelah berulang.
Saat kita merayakan Kamis Putih, marilah kita membiarkan air pembasuhan kaki membasuh hati kita dari kesombongan. Marilah kita memecah roti, bukan hati sesama. Dan marilah kita minum dari cawan kasih-Nya, agar kita pun menjadi saksi pembebasan di dunia yang haus harapan.
Daftar Pustaka:
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John. Anchor Bible, Vol. 29, Doubleday, 1970.
- Hahn, Scott. The Lamb’s Supper: The Mass as Heaven on Earth. Image Books, 1999.
- Wright, N.T. Paul: A Biography. HarperOne, 2018.
- Balthasar, Hans Urs von. Love Alone is Credible. Ignatius Press, 2004.
- Jeremias, Joachim. The Eucharistic Words of Jesus. SCM Press, 1966.