Salah satu strategi penjualan yang digunakan oleh para pemasar (salesman) adalah dengan mengobarkan emosi atau nafsu manusiawi kita terhadap barang-barang duniawi. Andy Maslen, seorang copywriter dari Inggris dalam bukunya Write to Sell: The Ultimate Guide to Great Copywriting (2009) menyebutkan tujuh dosa manusia yang bisa diobok-obok agar manusia-manusia yang menjadi sasaran jualan berlomba-lomba membeli produk yang dipasarkan dengan sebutan Seven Deadly Sins.
Tujuh dosa itu adalah; kebanggan, iri hati, nafsu aluamah alias doyan makan, nafsu seksual, kemarahan, keserakahan, dan kemalasan.
Kita mungkin membeli sebuah produk dengan pertimbangan rasional, namun kebanyakan orang mengeluarkan uang untuk membeli barang terlebih karena unsur emosional atau nafsu. Orang tidak membeli barang karena butuh melainkan karena ada diskon, bonus, atau tawaran lain yang menggiurkan yang sebenarnya bukan alasan langsung kenapa membeli. Diskon memenuhi nafsu serakah, demikian juga bonus. Di sinilah, permainan dan manipulasi dimulai.
Orang diiming-imingi agar membeli barang dengan bonus tertentu, free trial, free sample atau mungkin dibuat iri dengan menunjukkan bahwa orang lain juga bisa menikmati hal yang sama. Dan masih banyak strategi emosi/nafsu lainnya bisa kita lihat di berbagai iklan. Ketujuh nafsu itulah yang digoyang terus oleh para pemasar.
Strategi ini bukanlah metode baru. Artinya sudah digunakan sejak puluhan tahun lampau, bahkan mungkin ratusan tahun dengan caranya yang paling sederhana. Sayangnya, tidak semua orang sebagai sasaran penjualan sadar dengan permainan ini. Parahnya lagi, cara berkomunikasi ini makin meluas dan seperti menjadi sesuatu yang normal dijalankan oleh kebanyakan orang di zaman sekarang.
Lihat saja video-video jualan yang bertebaran di Tiktok. Barang yang ditunjukkan tidak sama dengan barang yang dijual. Atau tawaran yang diberikan di video bisa jadi diterima dengan kondisi tertentu (tidak sesuai yang ditawarkan) oleh pembeli. Misalnya disebutkan uang 100 ribu rupiah bisa untuk membeli 8 kaos. Namun, ketika pengguna Tiktok masuk ke showcase, penjualan 100 ribu/8 kaos itu ternyata untuk ukuran M saja. Sementara kebanyakan orang bisa jadi ukurannya tidak M.
Masih ada strategi lagi yang dibuat dengan tambahan keterangan berhuruf kecil berbunyi, “syarat dan ketentuan silakan baca di….”. Strategi ini mengharapkan orang tidak pergi begitu saja ketika membaca atau melihat iklan.
Menciptakan Jurang
Seandainya seorang calon pembeli sulit didekati dengan memainkan emosi atau nafsunya, seorang pemasar yang andal akan berusaha mendekati calon pembeli dan mengajaknya berkomunikasi lebih intens.
Mereka akan mengajak Anda bertemu dan bincang-bincang. Dan ketika pembicaraan sudah terjadi, maka si salesman akan berusaha menciptakan sebuah jurang kebutuhan bagi si calon pembeli. Jurang atau gap ini bisa saja memang ada namun tidak disadari calon pembeli. Karena itu dipaparkan lebih kentara ke calon pembeli. Atau sebenarnya memang tidak ada, tapi dibuat ada gap itu. Dan emosi/nafsu si calon pembeli kembali diusik.
Seseorang yang tadinya tidak ingin membeli mobil, namun karena diberitahu bahwa temannya sudah membeli mobil dengan merk terbaru, tercanggih dengan harga fantastis, akhirnya si calon pembeli ini melakukan pembelian juga. Envy atau rasa iri dalam hal ini sedang dimainkan oleh sales mobil ini.
Tadinya Anda mungkin tidak pernah punya kartu kredit dan tidak pernah merasa butuh, namun karena sang sales mengungkapkan kondisi Anda yang sering bepergian, menginap di berbagai tempat, makan di macam-macam restoran, kerap membeli jajan atau oleh-oleh, maka sales membuka gap itu di hadapan Anda. Dikatakannya bahwa Anda butuh kartu kredit supaya gampang bertransaksi. Tidak pusing dengan pembayaran, tidak perlu bawa uang banyak, dan segala macam rongga kebutuhan disodorkan pada Anda.
Saya rasa, tanpa perlu didekati oleh seorang salesman pun kita juga sering membuat jurang kebutuhan kita sendiri. Ambil contoh misalnya, kita sebenarnya bisa masak makanan yang bahannya sudah ada di kulkas dapur. Namun karena melihat sebuah video entah di youtube atau tiktok yang menampilkan makanan yang menggugah selera, akhirnya kita pesan lewat gojek. Nafsu aluamah (doyan makan) dalam hal ini sedang muncul dalam diri kita. Bahkan tidak hanya aluamah, nafsu malas juga sedang digoyang.
Contoh ini pun sebenarnya hasil dari pendekatan tidak langsung para pemasar yang pintar memengaruhi calon pembeli melalui iklan hingga akhirnya memutuskan bertindak (melakukan aksi) dengan membeli.
Tahapan AIDA
Sebuah akronim terkenal yang digunakan oleh para copywriter televisi di Amerika Serikat pada era 1950-an dikenal dengan sebutan AIDA. A untuk Attention (perhatian), I untuk Interest (keinginan untuk mengetahui lebih dalam), D untuk Desire (hasrat), dan A untuk Action (aksi atau kegiatan membeli).
Akronim ini menampilkan proses atau tahapan bagaimana pemasar memengaruhi calon pembeli. Di awal, pemasar membuat berbagai macam cara agar orang memberi perhatian (attention) pada produk barang atau jasa yang ditawarkan. Lalu, ketika sudah tertarik, calon pembeli akan masuk lebih dalam lagi karena ada keinginan (interest) di dalamnya dengan produk tersebut. Fitur-fitur dan manfaat kemudian dijabarkan oleh si pemasar. Ketika calon pembeli makin tertarik, hasratnya untuk punya barang atau merasakan jasa itu makin kuat. Maka tahapan ini disebut desire. Di sinilah pemasar mulai menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dirasakan dan dinikmati calon pembeli. Fitur dan manfaat makin diperjelas.
Dan untuk menguatkan keyakinan calon pembeli, ada juga sales yang menambahkan satu tahap lagi sebelum aksi, yakni langkah meyakinkan. Disebut dengan Conviction, disingkat C. Jadi, bukan lagi AIDA melainkan AIDCA.
Tahapan ini biasanya kita kenal dalam bentuknya berupa pemberian sampel gratis (free sample) atau contoh. Setelah Anda tampak menginginkan, maka salesman mencoba menarik Anda lebih dalam lagi dengan cara membuat Anda makin yakin. Caranya dengan memberi sampel, memberi kesempatan bagi Anda sebagai calon pembeli untuk sedikit merasakan produk yang ditawarkan ke Anda. Ini yang disebut dengan free trial.
Contohnya bisa kita kenali dalam banyak tawaran yang diberikan produsen. Misalnya ada kesempatan untuk test drive (kesempatan untuk mencoba mengendari) bila produknya sebuah mobil. Atau menjajal sebuah software/ aplikasi secara gratis (free trial) selama sebulan hingga tiga bulan dan setelahnya harus membayar untuk bisa menikmati atau menggunakannya. Juga bisa jadi, Anda disodori cerita-cerita menarik dari mereka yang sudah membeli produk barang atau jasa (testimoni). Ini untuk membuat Anda makin yakin dan percaya.
Dan harapanya, calon pembeli itu akan membeli produk barang atau jasa itu. Tidak hanya sekali atau dua kali, salesman pasti mengharapkan pembelian itu terjadi berkali-kali. Pada tahap ini, banyak hal yang biasanya diprogramkan oleh produsen dan diinformasikan para salesman kepada Anda sebagai konsumen.
Komunikasi Tipu-tipu
Jadi, pada dasarnya, semua jenis komunikasi marketing (pemasaran) diarahkan untuk satu aksi, yakni membeli barang. Perlakuan berbeda pasti akan terjadi pada orang yang sudah benar-benar menyatakan tidak ingin membeli dan langsung ngeloyor pergi ketika didatangi seorang sales dengan orang yang tampak ada minatnya.
Sales biasanya lebih bersemangat dengan orang-orang yang benar-benar atau tampak ingin membeli. Ketika orang sudah mulai membeli, perilaku sales akan semakin sopan, hormat pada si pembeli. Tidak heran pula, banyak sales kerap memberi layanan, perlakuan beda pada calon pembeli hanya dengan melihat penampakan luarnya. Yang kelihatan kaya, akan dilayani dengan baik karena dianggap berpotensi membeli. Sebaliknya, yang kelihatannya lusuh, tidak dilayani dengan baik. Perbedaan sikap dalam melayani dan berkomunikasi hanya didasarkan pada kekayaan, bukan pada dirinya sebagai manusia.
Pakar Etika dari Universitas Atma Jaya Jakarta, Aloysius Nugroho menyebutkan, bahwa hormat kepada hak-hak konsumen itu berdasarkan hormat pada martabat manusia (human dignity). Konsumen adalah manusia, bukan hanya obyek sasaran program-program komunikasi pemasaran. (Nugroho, Aloys A. “Relevansi Etika Bisnis dalam Industri Jasa Kesehatan.” RESPONS volume 15 no. 1 (2010): 103 (c) 2009 PPE-Unika Atma Jaya, Jakarta.)
Karena itu komunikasi pemasaran pada dasarnya bukanlah komunikasi kristiani. Melainkan komunikasi tipu-tipu. Bahkan dalam salah satu strateginya agar pembeli kembali atau terus-menerus membeli produk barang atau jasa (customer retention) disebutkan prinsip “treat customers as humans, not data”. Prinsip ini berusaha membuat konsumen nyaman karena diperlakukan sebagai manusia, bukan sekadar data.
Menariknya, strategi treat as humans ini begitu luar biasa memanjakan konsumen. Beberapa hal yang bakal dilakukan produsen antara lain; berusaha keras mengerti Anda, memberi respons cepat atas kebutuhan atau pertanyaan yang Anda inginkan, kalau ada kesalahan Anda mendapat jaminan penggantian, dan yang penting juga Anda dimanjakan dengan berbagai servis dengan pelayanan excellent. (Toni Matthews-El, Cassie Bottorff14. Customer Retention Strategies That Work In 2023, https://www.forbes.com/advisor/business/customer-retention-strategies. Forbes: 2022).
Meski kelihatannya manusiawi, strategi pemasaran yang luar biasa ini tetap saja menyimpan maksud. Ada udang di balik batu. Perlakuan baik ini (treat as humans) tidak lebih merupakan strategi yang skenarionya jelas, menjadikan Anda sebagai pembeli yang setia.
Menyucikan Hati
Komunikasi pemasaran pada umumnya cenderung manipulatif, tidak tulus karena menjebak, dan tidak membuat subyek menjadi merdeka. Sayang, komunikasi manipulatif ini seolah sudah menjadi barang biasa. Inilah yang harus diwaspadai, kata Paus Fransiskus.
Dalam pesannya di Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-57, Bapa Suci mengingatkan situasi ini dan mengajak kita untuk memperbaiki cara kita berkomunikasi, cara kita berbicara. “Komunikasi tidak boleh direduksi menjadi suatu kepalsuan yang saat ini mungkin kita sebut sebagai strategi marketing,” ujar Paus dalam pesannya. (Bdk, Pesan Paus di Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-57, hlm. 9).
Komunikasi kristiani seperti yang dikehendaki Paus Fransiskus adalah komunikasi yang dilingkupi suasana saling mendengarkan tanpa prasangka, penuh perhatian dan terbuka, menghargai satu sama lain sebagai manusia, dan menghadirkan pembicaraan menurut gaya Tuhan.
Itu berarti satu sama lain ada sikap saling memupuk keakraban, bela rasa, dan kelembutan, mengobarkan hati, memberi terang dan bukan memberi kepalsuan. (Bdk, Pesan Paus di Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-57, hlm. 12).
“Sebuah komunikasi menempatkan hubungan dengan Tuhan dan sesama, terutama yang paling membutuhkan berada di pusat dan tahu bagaimana menyalakan api iman daripada mempertahankan identitas palsu diri sendiri,” ujar Paus.
Dan inilah yang kata Paus disebut sebagai komunikasi yang dibangun atas kerendahan hati dalam mendengarkan dan bebas terbuka menyatakan kebenaran (parrhesia) dalam bicara, serta tidak memisahkan kebenaran dari kasih.
Untuk mencapai kemampuan komunikasi itu, Paus Fransiskus memberi resep ampuh, yakni sebuah langkah menyucikan hati. Kata Paus, hanya dengan mendengarkan dan berbicara melalui hati yang murni, kita dapat melihat melampaui apa yang tampak dan dapat mengatasi suara-suara tidak jelas yang dalam hal informasi, justru tidak membantu kita memahami dunia yang begitu kompleks.
“Berbicaralah dengan hati,” ujar Paus. Bagi Fransiskus, komunikasi dengan hati merupakan cara berkomunikasi dengan jujur, tanpa keinginan untuk menipu, menjebak, memengaruhi agar maksud kita dijalankan orang lain, apalagi menghakimi.
Dua tokoh yang ditampilkan Paus sebagai teladan bagi para komunikator adalah Tuhan Yesus sendiri dan Santo Fransiskus de Sales. Keduanya menjadi contoh jelas bahwa dalam berkomunikasi, yang dikedepankan adalah kasih itu sendiri. Hasil dan maksudnya jelas, sebuah suasana kegembiraan, persatuan dan perdamaian, dan suasana hati yang berkobar dengan kegembiraan dan cinta. Tidak hanya bagi komunikator (si penyampai pesan), melainkan juga si komunikan (si penerima pesan).
Referensi:
- Fransiskus, Paus. Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-57. Jakarta: Komsos KWI, 2023
- Maslen, Andy. Write to Sell: The Ultimate Guide to Great Copywriting. London: Marshall Cavendish, 2009.
- Nugroho, Aloys A. Relevansi Etika Bisnis dalam Industri Jasa Kesehatan. RESPONS volume 15 no. 1 (2010): 103 (c) 2009 PPE-Unika Atma Jaya, Jakarta.
- Toni Matthews-El, Cassie Bottorff. 14 Customer Retention Strategies That Work In 2023, https://www.forbes.com/advisor/business/customer-retention-strategies. Forbes: 2022