Minggu, 10 November 2024
Refleksi dari bacaan Hari Minggu ini, Minggu Biasa XXXII, menghadirkan tema tentang kedermawanan sejati dan penyerahan diri yang sesungguhnya kepada Tuhan. Dalam tiga bacaan ini—1 Raja 17:10-16, Ibrani 9:24-28, dan Markus 12:38-44—kita diajak memahami bahwa pengorbanan yang tulus selalu datang dari hati yang penuh iman, bahkan ketika kita berada dalam keterbatasan atau kesulitan.
Kedermawanan yang Tulus di Tengah Kekurangan
Kisah dalam 1 Raja 17:10-16 menggambarkan Nabi Elia yang datang kepada seorang janda miskin di Sarfat. Wanita ini hanya menyimpan segenggam tepung dan sedikit minyak, tetapi atas permintaan Elia, ia bersedia membagi semuanya, bahkan saat kelaparan melanda. Tindakan janda ini mencerminkan kepercayaan total kepada pemeliharaan Tuhan, seperti yang diuraikan oleh Walter Brueggemann dalam First and Second Kings (2000), di mana ia menyebutkan bahwa janda Sarfat ini adalah “ikon dari iman, yang sangat langka kita dapati.” Meskipun logika duniawi akan mendorongnya untuk mempertahankan apa yang tersisa, iman janda ini membuatnya melepaskan miliknya dengan keyakinan bahwa Tuhan tidak akan membiarkannya lapar. Kisah ini menegaskan bahwa keberanian memberi di dalam keterbatasan adalah tindakan yang sangat dihargai di mata Tuhan.
Pengorbanan Kristus yang Sekali untuk Selamanya
Di dalam bacaan kedua, Ibrani 9:24-28, kita diperkenalkan pada konsep penebusan yang dilakukan oleh Kristus, sekali untuk selamanya. Penulis Surat kepada Orang Ibrani menunjukkan perbedaan antara pengorbanan yang terus menerus dilakukan oleh imam dalam tradisi Yahudi dan pengorbanan Kristus yang tunggal namun kekal. Dalam Hebrews (1993), William L. Lane menekankan bahwa pengorbanan Kristus adalah “tanda dari kasih dan ketaatan yang sempurna pada kehendak Bapa.” Pengorbanan ini, yang dilakukan demi keselamatan kita, bukan hanya memberikan jaminan keselamatan tetapi juga menjadi teladan bagi kita dalam menyerahkan segala sesuatu demi Tuhan. Dalam hal ini, kita diundang untuk mengikuti teladan kasih Kristus yang tanpa syarat dan rela mengorbankan diri, memberikan kehidupan kita sebagai persembahan yang hidup.
Memberi dari Kekurangan, Bukan Kelimpahan
Di dalam Markus 12:38-44, Yesus menyoroti seorang janda miskin yang memberikan dua keping uang tembaga, meskipun itu adalah seluruh hartanya. Dalam refleksi Martin Hengel dalam Property and Riches in the Early Church (1974), ia menjelaskan bahwa janda dalam perikop ini mewakili kejujuran dan kerendahan hati dalam memberi. Sementara orang kaya memberikan dari kelimpahan mereka, janda ini memberikan dari kekurangannya, menampilkan pengorbanan yang sejati. Yesus melihat lebih dalam dari sekadar jumlah materi, Ia melihat hati yang rela memberi meskipun dalam keterbatasan, dan inilah yang dianggap lebih berharga.
Di dunia saat ini, kita seringkali berfokus pada apa yang dapat kita berikan dari kelebihan kita—baik itu dalam bentuk waktu, energi, atau harta. Bahkan kita sering terpana pada jumlah sumbangan dari yang kita kumpulkan untuk membantu orang. Kita juga sering gelisah ketika kita hanya mampu memberikan sejumlah sumbangan yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada orang lain. Juga kita sering terpukau dengan karya-karya yang tampak wah, istana seperti di Ibu Kota IKN, kiprah seseorang yang berhasil menyelenggarakan peristiwa besar misalnya Ekaristi bersama Paus. Mungkin sangat jarang atau bahkan tidak pernah kita terpana pada kesetiaan para ibu yang hingga 40-tahun misalnya mengasuh anak-anak hingga cucunya. Mereka yang bekerja untuk anak-anak di tempat-tempat sulit atau hanya menjadi guru di sekolah dasar di desa.
Rasanya contoh yang diberikan oleh janda ini mengingatkan kita bahwa Tuhan lebih melihat kualitas hati kita, dalam memberi, mengerjakan sesuatu. Seperti dalam kehidupan seorang ibu tunggal yang bekerja keras untuk anak-anaknya, meski pendapatan terbatas, ia tetap berusaha menyisihkan sebagian untuk berbagi dengan mereka yang lebih membutuhkan. Tindakan seperti ini, kecil namun penuh kasih, mencerminkan kemurahan hati yang mendalam.
Pakar Spiritualitas Ignasian, Romo J Darminta SJ menyebutkan, “Yang penting bukan sedikit atau banyak yang kita berikan, tapi totalitas hati yang kita sertakan dalam pemberian itu.“
Kesimpulan
Bacaan minggu ini menantang kita untuk merefleksikan makna kedermawanan dan pengorbanan sejati dalam hidup kita. Dari janda Sarfat hingga janda miskin di bait Allah, kita melihat bahwa kedermawanan sejati tidak ditentukan oleh jumlah tetapi oleh kemurnian hati yang penuh iman dan kasih. Pengorbanan Kristus yang tunggal dan sempurna menjadi puncak dari pengajaran ini, mengingatkan kita untuk selalu mempersembahkan hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan, berapapun keadaan yang kita miliki.
Dalam konteks modern, kita dipanggil untuk memberi dari kedalaman hati, dengan ketulusan yang tidak terikat oleh kelimpahan materi. Tindakan-tindakan kecil kita sehari-hari, yang dilakukan dengan ketulusan, menjadi persembahan yang harum di hadapan Tuhan, sebagaimana tertulis dalam refleksi dari Henri Nouwen dalam Life of the Beloved (1992): “Memberi dari apa yang kita butuhkan adalah tindakan paling murni dalam kasih.” Mari kita mengambil inspirasi dari ketiga bacaan ini, agar kita berani memberi, bukan hanya dari kelebihan, tetapi juga dari keterbatasan yang kita miliki, dengan percaya bahwa Tuhan akan memenuhi segala yang kita butuhkan.
DAFTAR PUSTAKA :
- Brueggemann, Walter. First and Second Kings. Macon: Smyth & Helwys Publishing, 2000.
- Hengel, Martin. Property and Riches in the Early Church. Philadelphia: Fortress Press, 1974.
- Lane, William L. Hebrews: A Call to Commitment. Peabody: Hendrickson Publishers, 1993.
- Nouwen, Henri J.