SABTU, 23 NOVEMBER 2024
Wahyu 11:4-12 dan Lukas 20:27-40 menyajikan dua narasi yang, meski berbeda dalam konteks, menawarkan pandangan yang kaya tentang iman dan kebangkitan. Pada intinya, kedua bacaan ini menyuarakan janji akan kehidupan yang tidak berakhir, dengan fokus pada kesaksian iman yang kuat dan keteguhan hati dalam menghadapi perlawanan dan pertanyaan yang muncul. Kedua bagian ini, meskipun berasal dari konteks yang berbeda, menyentuh inti keyakinan umat Kristen tentang kekuatan saksi dan janji kebangkitan yang mengatasi ketakutan akan kematian.
Dalam Wahyu 11:4-12, kita mendapati dua saksi yang sering kali dianggap sebagai representasi kekuatan firman Tuhan di dunia yang penuh dengan ketidakadilan dan tantangan. Ahli tafsir George Ladd dalam bukunya “A Commentary on the Revelation of John” (1972), melihat kedua saksi ini sebagai simbol kekuatan penginjilan yang tidak bisa dihentikan, meskipun menghadapi penindasan yang keras. Mereka berbicara dalam kekuatan Roh Kudus, melawan kekuatan yang mencoba membungkam mereka. Ketika mereka dibunuh oleh “binatang yang muncul dari jurang maut,” tindakan ini melambangkan kekuatan dunia yang mencoba menaklukkan kebenaran Allah. Namun, dalam sebuah kejutan ilahi, setelah tiga setengah hari, mereka dibangkitkan kembali oleh Roh Allah dan naik ke surga di depan mata musuh-musuh mereka. Gambaran ini memperlihatkan ketahanan iman yang tidak bisa dikalahkan oleh kematian; dalam kebangkitan mereka, iman itu diteguhkan, menjadi saksi yang lebih kuat daripada sebelumnya.
Sementara itu, Lukas 20:27-40 mengisahkan pertemuan Yesus dengan kaum Saduki, yang tidak mempercayai kebangkitan. Mereka mencoba menjebak Yesus dengan sebuah pertanyaan tentang perkawinan di kehidupan yang akan datang, sebuah dilema yang menurut mereka akan membuktikan ketidakmasukakalan kebangkitan. Yesus, dengan hikmat-Nya, mengungkapkan bahwa kehidupan setelah kebangkitan berbeda dari kehidupan di dunia ini: “Orang-orang yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang akan datang dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, mereka tidak kawin dan tidak dikawinkan” (Luk. 20:35).
Robert Tannehill dalam “Luke” (1996) menekankan bahwa jawaban Yesus ini tidak hanya menegaskan keberadaan kehidupan setelah kematian, tetapi juga mengubah cara kita memandang relasi dan kesetiaan di dunia ini. Kehidupan kekal adalah kehidupan yang berakar dalam relasi dengan Allah, bukan semata-mata pada hubungan-hubungan duniawi.
Kedua teks ini pada dasarnya berbicara tentang harapan akan kebangkitan yang tidak terbatas pada harapan masa depan, tetapi juga berdampak pada kehidupan saat ini. Karl Rahner, dalam “Theological Investigations” (1972), menegaskan bahwa kebangkitan bukan sekadar janji akan hidup setelah kematian, tetapi adalah realitas yang merasuki kehidupan sehari-hari umat beriman. Kesaksian para saksi dalam Wahyu menjadi teladan bagaimana iman yang kokoh menginspirasi keberanian dalam menghadapi segala bentuk tantangan. Dalam Lukas, perdebatan tentang kebangkitan menjadi kesempatan untuk merefleksikan kembali relasi kita dengan Tuhan yang tidak dibatasi oleh kematian.
Para teolog dan ahli kitab suci sering kali menghubungkan teks Wahyu ini dengan pola penderitaan dan kemenangan yang ditemukan dalam kisah Yesus. Craig Koester, dalam bukunya “Revelation and the End of All Things” (2001), menyebutkan bahwa dua saksi dalam Wahyu adalah gambaran komunitas Kristen yang terus menerus mengalami tantangan namun juga menikmati kehadiran Roh yang memberi kehidupan baru. Di sisi lain, narasi Lukas mengajak umat beriman untuk memandang kematian sebagai bukan akhir, melainkan bagian dari perjalanan menuju kehidupan yang lebih dalam bersama Allah.
Kebangkitan, dalam kedua bacaan ini, tidak hanya dipahami sebagai fenomena eskatologis, tetapi sebagai panggilan untuk hidup dengan keberanian. John Dominic Crossan, dalam “The Historical Jesus: The Life of a Mediterranean Jewish Peasant” (1991), menyoroti bahwa janji kebangkitan adalah janji keberlanjutan misi Yesus melalui kesaksian para pengikut-Nya. Ini adalah janji bahwa Firman Allah tidak bisa ditaklukkan oleh kekuatan apa pun, dan selalu ada hidup baru yang muncul di tengah-tengah kematian.
Pada akhirnya, refleksi dari Wahyu 11:4-12 dan Lukas 20:27-40 mengajarkan bahwa kebangkitan bukan hanya tentang kehidupan setelah kematian, tetapi tentang bagaimana kita menjalani hidup ini. Kita dipanggil untuk menjadi saksi, bahkan di tengah kesulitan, dengan keyakinan bahwa Allah adalah sumber kehidupan yang tak terhenti. Kehidupan kekal yang dijanjikan bukan sekadar hidup setelah kematian, tetapi kehidupan yang dipenuhi oleh Allah di sini dan sekarang. Iman yang teguh pada kebangkitan mengubah cara kita menjalani hidup, memberi kita kekuatan untuk menjadi saksi kebenaran di tengah dunia yang sering kali menentang kebenaran itu.
Daftar Pustaka:
- Ladd, George Eldon. A Commentary on the Revelation of John. Eerdmans, 1972.
- Tannehill, Robert C. Luke. Abingdon Press, 1996.
- Rahner, Karl. Theological Investigations. Seabury Press, 1972.
- Koester, Craig R. Revelation and the End of All Things. Eerdmans, 2001.
- Crossan, John Dominic. The Historical Jesus: The Life of a Mediterranean Jewish Peasant. HarperSanFrancisco, 1991.