RABU, 19 Februari 2025
Setelah empat puluh hari berlalu, Nuh membuka jendela bahtera dan melepaskan burung-burung ke langit. Seekor burung gagak terbang tanpa arah, sementara burung merpati kembali karena belum menemukan tempat untuk beristirahat. Namun, harapan muncul ketika merpati itu akhirnya kembali dengan sehelai daun zaitun di paruhnya. Itu adalah pertanda bahwa air bah mulai surut, bahwa kehidupan dapat dimulai kembali. Kejadian 8:6-13 bukan hanya kisah tentang bertahannya manusia dan binatang dari bencana besar, tetapi juga tentang kesabaran dalam menantikan tanda pemulihan. Nuh tidak tergesa-gesa, ia menunggu dengan iman, memahami bahwa pemulihan sejati berasal dari Tuhan.
Ketika akhirnya Nuh dan keluarganya menapakkan kaki di tanah kering, tindakan pertama yang ia lakukan bukanlah membangun tempat tinggal, melainkan membangun mezbah. Dalam Kejadian 8:20-22, persembahan syukur yang ia naikkan melambangkan pengakuan atas kasih setia Tuhan. Tuhan, yang melihat hati manusia cenderung jahat sejak kecil, tetap berjanji untuk tidak lagi menghancurkan bumi dengan air bah. Janji itu bukanlah jaminan bahwa manusia akan selalu setia, melainkan sebuah perjanjian kasih yang bertahan di tengah kerapuhan manusia. Walter Brueggemann dalam “Genesis: Interpretation” (1982) menyebut momen ini sebagai “restorasi hubungan yang bukan berdasarkan kelayakan manusia, melainkan kemurahan hati Tuhan.”
Di seberang waktu dan sejarah, Markus 8:22-26 juga mengisahkan proses pemulihan, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Yesus dan murid-muridnya tiba di Betsaida, dan seorang buta dibawa kepada-Nya. Dengan penuh kelembutan, Yesus memimpin orang itu ke luar desa, menjamah matanya, dan bertanya, “Sudahkah engkau melihat sesuatu?” Yang buta itu mulai melihat, tetapi belum jelas. Maka Yesus kembali menjamahnya, dan penglihatannya pun menjadi sempurna.
Mengapa Yesus menyembuhkan secara bertahap? NT Wright dalam “Mark for Everyone” (2001) menjelaskan bahwa kisah ini bukan hanya tentang kesembuhan fisik, tetapi juga tentang perjalanan iman. Sama seperti air bah yang tidak surut dalam sekejap, pemulihan sering kali terjadi dalam tahapan, dalam proses yang mengajarkan kepercayaan dan ketekunan. Orang buta itu melambangkan para murid yang belum sepenuhnya memahami siapa Yesus. Mereka telah melihat mukjizat-mukjizat-Nya, tetapi belum menangkap sepenuhnya makna kehadiran-Nya. Seperti burung merpati yang kembali sebelum menemukan tempat beristirahat, pemahaman iman sering kali tidak langsung sempurna—ia membutuhkan waktu, pengalaman, dan sentuhan kedua dari Tuhan.
Ketika Nuh mempersembahkan kurban syukur, ia menatap langit yang baru setelah badai besar. Ketika orang buta itu mulai melihat, ia menatap dunia dengan mata yang diperbarui. Keduanya mengalami kasih Tuhan yang tidak hanya menyelamatkan, tetapi juga memulihkan. Henri Nouwen dalam “The Return of the Prodigal Son” (1992) menulis bahwa perjalanan iman adalah perjalanan yang sering kali penuh ketidaktahuan, namun di tengah perjalanan itu, Tuhan selalu memberikan tanda-tanda harapan.
Kita semua, dalam banyak cara, adalah seperti Nuh yang menunggu air surut atau seperti orang buta di Betsaida yang masih berusaha melihat dengan jelas. Namun, dalam setiap proses itu, ada janji pemulihan, ada tangan Tuhan yang setia membimbing, ada harapan yang menguatkan. Dan ketika saatnya tiba, seperti Nuh yang menghirup udara segar di tanah yang kering, atau seperti si buta yang akhirnya dapat melihat dengan jelas, kita akan menyadari bahwa Tuhan telah menyertai setiap langkah kita.
Daftar Pustaka:
- Brueggemann, Walter. Genesis: Interpretation. Atlanta: John Knox Press, 1982.
- Nouwen, Henri. The Return of the Prodigal Son. New York: Doubleday, 1992.
- Wright, N.T. Mark for Everyone. Louisville: Westminster John Knox Press, 2001.