SELASA, 8 APRIL 2025
Ada momen-momen dalam sejarah rohani manusia di mana luka, murka, dan penyembuhan saling bertemu dalam satu peristiwa yang transenden. Hari ini, tiga bacaan suci mengajak kita menyelami misteri yang begitu dalam: bahwa dalam luka kita, Tuhan menyatakan kasih-Nya, dan dalam kematian Anak-Nya, kehidupan justru lahir kembali.
Dalam kitab Bilangan 21, umat Israel kembali bersungut-sungut di padang gurun. Mereka telah dibebaskan dari Mesir, namun kebebasan tanpa kenyamanan membuat mereka meragukan maksud Tuhan. Keluhan mereka melukai bukan hanya Musa, sang pemimpin, tapi juga hati Allah sendiri. Maka datanglah ular-ular berbisa, simbol dari kehancuran yang lahir dari ketidakpercayaan. Tapi Tuhan, seperti yang selalu terjadi dalam narasi Kitab Suci, tidak membiarkan kehancuran menjadi akhir cerita. Ia memerintahkan Musa membuat ular tembaga dan meninggikannya. Siapa pun yang memandangnya akan hidup.
Gambaran ini tidak sekadar kisah aneh dari masa lalu. Teolog Scott Hahn (2009) menjelaskan bahwa ular tembaga bukanlah jimat atau sihir, tetapi “tanda yang membalikkan logika kematian menjadi logika penyembuhan; tanda yang menunjukkan bahwa Tuhan tidak menghapus penderitaan, melainkan mengisi penderitaan dengan kasih penyembuhan-Nya.” Dalam menatap apa yang melukai, umat diajak untuk melihat lebih dalam, bahwa dalam luka mereka sendiri, kasih Allah tetap hadir.
Mazmur 102 menjadi gema dari jiwa yang terluka. “Janganlah menyembunyikan wajah-Mu pada waktu aku kesesakan,” seru pemazmur. Ia mewakili jiwa-jiwa yang lelah di padang gurun eksistensial, di mana Tuhan terasa jauh. Tapi mazmur ini tidak berhenti pada keluhan. Ia beranjak menjadi pengharapan akan pemulihan: “Bangsa-bangsa akan takut akan nama Tuhan.” Dalam konteks liturgi, mazmur ini bukan sekadar puisi ratapan, tapi jembatan menuju janji: bahwa Tuhan mendengar jeritan orang tertindas.
Kemudian kita sampai pada Injil Yohanes 8:21-30, saat Yesus berbicara tentang “Aku akan pergi dan kamu akan mencari Aku, tetapi kamu akan mati dalam dosamu.” Kata-kata ini terdengar keras, bahkan menakutkan. Tapi Yesus sedang menyatakan realitas terdalam: bahwa tanpa mengenal siapa Dia sebenarnya, manusia akan terus hidup dalam keterasingan dari kasih Allah. Yesus menubuatkan kematian-Nya, tetapi dengan kata-kata penuh misteri: “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu bahwa Akulah Dia.” Ini adalah pusat dari segala pewahyuan.
Frédéric Manns, dalam La lecture juive de l’Évangile de Jean (1991), menulis bahwa kata “meninggikan” dalam Injil Yohanes bukan hanya menunjuk pada salib secara fisik, tetapi juga merupakan pemuliaan: salib menjadi takhta di mana Yesus dimuliakan karena Ia menyerahkan diri-Nya demi dunia. Ironinya begitu dalam: dunia berpikir salib sebagai kehinaan, tapi Injil melihatnya sebagai puncak kasih.
Yesus adalah “ular tembaga” baru, yang diangkat bukan di tengah gurun pasir tetapi di Golgota. Ia tidak hanya menjadi lambang penyembuhan, tetapi penyembuhan itu sendiri. Dalam salib-Nya, segala keluhan dan dosa manusia ditanggung. Dalam pandangan teologi Kristen awal, seperti yang diajarkan oleh Irenaeus dari Lyon (Against Heresies, ca. 180 AD), Yesus di salib adalah “recapitulatio” — rangkuman ulang dari sejarah manusia, di mana apa yang jatuh di Eden ditebus dan diangkat di Kalvari.
Dan apakah yang harus kita lakukan? Sama seperti umat Israel memandang ular tembaga itu, kita pun diajak memandang Salib Kristus dengan mata yang terbuka, dengan hati yang tidak tertutup oleh sinisme dan kepahitan. Dalam dunia yang penuh luka — luka sosial, luka batin, luka akibat kehilangan makna — salib bukan hanya simbol keagamaan, melainkan pusat harapan. Dalam refleksi Henri Nouwen, The Wounded Healer (1979), ia mengatakan bahwa hanya mereka yang terluka yang bisa menyembuhkan. Maka Salib adalah Allah yang membiarkan diri-Nya terluka demi menyembuhkan luka dunia.
Hari ini kita diajak untuk melihat dengan cara baru: bahwa rahmat tidak selalu datang dalam bentuk kenyamanan, dan penyembuhan sering kali muncul dari perjumpaan dengan rasa sakit yang ditransformasikan. Bahwa ketika Yesus diangkat di salib, Ia sedang menyingkapkan kasih yang lebih tinggi dari penghakiman, lebih kuat dari dosa, dan lebih dalam dari segala keluhan.
Dalam dunia yang terus mencari jawaban dalam hal-hal instan, Injil hari ini seperti oase di tengah padang pasir: panggilan untuk memandang, untuk percaya, dan untuk hidup. Diangkatnya Kristus bukan untuk menjauhkan kita dari dunia, tetapi untuk memperlihatkan betapa dunia ini begitu dikasihi.
Daftar Pustaka:
- Hahn, Scott. A Father Who Keeps His Promises. Servant Books, 2009.
- Manns, Frédéric. La lecture juive de l’Évangile de Jean. Franciscan Printing Press, 1991.
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John I-XII. Yale University Press, 1966.
- Nouwen, Henri J.M. The Wounded Healer. Doubleday, 1979.
- Irenaeus of Lyon. Against Heresies. ca. 180 AD.
- Benedict XVI (Joseph Ratzinger). Jesus of Nazareth: Holy Week. Ignatius Press, 2011.