SABTU, 12 APRIL 2025
“Misteri Persatuan yang Menyembuhkan”
Di tengah porak-porandanya kisah dalam sejarah manusia, ketika bangsa-bangsa tercerai-berai karena kesombongan, kekuasaan, dan dosa, Allah dalam kasih-Nya tidak pernah berhenti mengupayakan pemulihan. Bacaan dari nubuat Yehezkiel menyuarakan harapan yang lembut namun kuat: bahwa Allah sendiri akan mengumpulkan umat-Nya yang tercerai-berai dan menjadikan mereka satu bangsa, dengan satu gembala, dalam satu perjanjian damai yang kekal.
Yehezkiel mengucapkan kata-kata ini di tengah penderitaan bangsa Israel di pembuangan Babel—sebuah masa yang memperlihatkan kehancuran, kehampaan, dan kehilangan identitas kolektif. Tetapi justru di tengah puing-puing itu, Allah menyatakan rencana pemulihan yang radikal: “Aku sendiri akan menjadi Allah mereka, dan hamba-Ku Daud akan menjadi raja atas mereka semua”. Penafsiran Kristen melihat nubuatan ini tergenapi dalam pribadi Yesus Kristus, keturunan Daud yang membawa damai sejati bukan hanya kepada Israel, tetapi kepada seluruh umat manusia.
Mazmur Tanggapan yang dikutip dari Yeremia melukiskan sukacita atas pemulihan itu. Bangsa yang dahulu tercerai-berai akan dikumpulkan seperti gembala yang mengumpulkan kawanan dombanya. Ada tarian sukacita dan penghiburan ilahi yang menghapus air mata. Dalam terang Perjanjian Baru, sukacita ini mengantisipasi kemenangan Paskah: dari kematian menuju kehidupan, dari kehancuran menuju kebangkitan.
Bacaan Injil dari Yohanes mengungkap sisi paradoks dari rencana Allah. Yesus baru saja membangkitkan Lazarus dari kematian, suatu tanda ilahi yang jelas bahwa Dia adalah utusan Allah, bahkan lebih—Dia adalah Kebangkitan dan Hidup. Namun respons dari para pemuka agama bukanlah iman, melainkan ketakutan. Ketakutan akan kehilangan kekuasaan, ketakutan akan Roma, ketakutan akan perubahan. Maka dirundingkanlah keputusan untuk membunuh Yesus.
Yang paling menggugah adalah kata-kata Kayafas, Imam Besar waktu itu, yang dengan sadar atau tidak, menjadi suara nubuat ilahi: “Lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa”. Dalam misteri kasih dan ironi sejarah, Yesus memang akan mati untuk menyatukan kembali anak-anak Allah yang tercerai-berai, sebagaimana telah dinubuatkan oleh Yehezkiel. Di sinilah rencana keselamatan Allah bekerja secara diam-diam namun pasti, bahkan melalui keputusan dan niat jahat manusia.
Teolog N.T. Wright dalam bukunya “Jesus and the Victory of God” (1996) menegaskan bahwa salib bukanlah kecelakaan sejarah, melainkan pusat dari misi Yesus. Bagi Wright, kematian Yesus adalah tindakan subversif Allah yang mengalahkan kekuatan dosa dan pemisahan manusia melalui kasih yang berkorban.
Sedangkan Raymond E. Brown dalam “The Death of the Messiah” (1994) melihat bagaimana Injil Yohanes dengan sengaja menempatkan peristiwa-peristiwa ini untuk menunjukkan bahwa Yesus bukanlah korban keadaan, tetapi pemegang kendali atas nasib-Nya sendiri, karena kasih-Nya yang sempurna bagi dunia.
Hari ini, kita diundang untuk melihat dalam diri Yesus bukan hanya tokoh sejarah atau guru moral, melainkan Allah yang turun tangan sendiri demi menyatukan, menyembuhkan, dan menyelamatkan. Dialah yang menjemput kita dari pembuangan batin, dari keterasingan sosial, dari keterpecahan rohani. Dan dengan darah-Nya, Ia menulis ulang perjanjian kasih di hati kita, agar kita pun mampu menyatukan, bukan memecah; mengampuni, bukan menghakimi; dan membangun, bukan menghancurkan.
Daftar Pustaka:
- Wright, N. T. Jesus and the Victory of God. Fortress Press, 1996.
- Brown, Raymond E. The Death of the Messiah: From Gethsemane to the Grave. Yale University Press, 1994.
- Brueggemann, Walter. Hopeful Imagination: Prophetic Voices in Exile. Fortress Press, 1986.
- Moloney, Francis J. The Gospel of John. Liturgical Press, 1998.
- Fee, Gordon D. & Stuart, Douglas. How to Read the Bible for All Its Worth. Zondervan, 2003.