Sabtu Suci, 19 April 2-25
Segala sesuatu dimulai dalam keheningan. Bacaan pertama dari Kitab Kejadian mengantar kita kembali ke pangkal waktu, saat bumi belum berbentuk dan kosong, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Ada kekosongan, ada gelap, namun ada juga janji: firman yang segera akan mengucap, “Jadilah terang.” Keheningan ini adalah rahim penciptaan. Dan pada malam Sabtu Suci, Gereja berdiri di ambang rahim itu lagi, menanti sesuatu yang melampaui logika waktu dan nalar kematian: kebangkitan.
Malam ini, tidak ada inkarnasi baru, melainkan transformasi yang lahir dari luka. Dari gelap kubur, lahirlah terang kehidupan. Dalam tradisi Yahudi, malam menandai awal hari baru, dan bagi umat Kristen, malam Sabtu Suci bukan hanya awal Paskah—ia adalah simbol dari awal penciptaan baru. Santo Irenaeus dalam Against Heresies (180 M) menulis bahwa “Allah menciptakan manusia dalam kebebasan supaya manusia dapat turut serta dalam karya penciptaan yang baru, melalui ketaatan kepada kehendak-Nya.” Malam ini, kita melihat buah ketaatan dalam iman Abraham, yang dituntut mempersembahkan Ishak.
Kisah Abraham dan Ishak dalam Kejadian 22 begitu mengguncang. Namun, para Bapa Gereja membacanya dalam terang Paskah. Origenes, dalam Homilies on Genesis (abad ke-3), menyebut bahwa gunung Moria adalah “bayangan dari Golgota.” Abraham membawa anaknya menuju pengorbanan; Allah Bapa membawa Anak-Nya sendiri ke kayu salib. Namun, perbedaannya terletak di sini: pengorbanan Abraham dihentikan, sementara pengorbanan Kristus digenapi demi keselamatan umat manusia. Itulah sebabnya kisah Abraham menjadi jembatan dari penciptaan ke penebusan, dari Eden ke salib, dari tanah yang baik ke kebangkitan yang mulia.
Mazmur 104 menggemakan sukacita akan penciptaan yang baik: sungai yang memberi minum, bumi yang dipenuhi makanan, burung yang bernyanyi di dahan. Dunia ini pada dasarnya baik, diciptakan dalam kasih. Namun, dalam Injil Lukas malam ini, kita melihat dunia yang tampak hampa: para wanita datang ke kubur dengan rempah-rempah, hendak merawat tubuh yang mati. Mereka tidak datang mencari kehidupan—mereka datang karena cinta kepada yang telah mati. Dan justru di dalam cinta yang tulus itu, mereka pertama kali menyaksikan kehidupan baru.
Santo Ambrosius dari Milan, dalam Exposition of the Gospel of Luke (c. 390 M), mengatakan bahwa para wanita ini menjadi “rasul kepada para rasul”—karena kepada mereka pertama kali pewartaan kebangkitan disampaikan. Malaikat yang duduk di batu berkata, “Mengapa kamu mencari yang hidup di antara orang mati?” Pertanyaan ini adalah inti dari iman Kristen. Kita tidak lagi menengok ke belakang, ke masa lalu yang telah mati, tetapi maju ke masa depan yang dijanjikan: kehidupan kekal bersama Allah.
Malam ini, keheningan yang meliputi Sabtu Suci bukanlah keheningan kekalahan. Ia adalah keheningan rahim, tempat benih kebangkitan mengakar. Di balik batu kubur, Allah bekerja dalam diam. Seperti dalam penciptaan, Ia berkata, “Jadilah terang”—dan terang itu tidak lagi sekadar menerangi langit, tetapi hati manusia.
Sabtu Suci adalah malam iman yang sunyi. Kita tidak mendengar kata-kata Yesus. Tidak ada mujizat, tidak ada kisah dramatis. Tapi justru dalam sunyi itu, seperti kata Henri Nouwen dalam The Wounded Healer (1972), “Kita dipanggil untuk mempercayai kasih yang bekerja diam-diam, dalam luka, dalam keheningan, dalam ketiadaan jawaban.” Sabtu Suci mengajar kita untuk tinggal dalam pengharapan yang tidak gegabah, dalam iman yang menunggu, dalam cinta yang tetap menyalakan pelita walau terang belum nampak.
Malam ini, Gereja menunggu. Seperti para wanita yang datang ke kubur, kita membawa rempah kasih, doa, dan pengharapan. Dan seperti mereka, kita pun akan mendengar kabar itu: “Ia tidak ada di sini. Ia telah bangkit.”
📚 Daftar Pustaka
- Irenaeus. Against Heresies. ca. 180 M.
- Origenes. Homilies on Genesis. ca. 245 M.
- Ambrosius of Milan. Exposition of the Gospel of Luke. ca. 390 M.
- Henri Nouwen. The Wounded Healer. Doubleday, 1972.
- Brant Pitre. Jesus and the Jewish Roots of the Eucharist. Image, 2011.
- N.T. Wright. Surprised by Hope: Rethinking Heaven, the Resurrection, and the Mission of the Church. HarperOne, 2008.