Saya harus mengakui, ini adalah pengalaman pahit—dan mahal—yang menampar saya dengan keras. Kesimpulan yang muncul di kepala saya pun tidak enak untuk diucapkan: saya bodoh, saya terlalu percaya pada orang, saya tidak kritis, dan keluguan saya telah dimanfaatkan orang lain dengan sangat cerdik. Akibatnya, saya kehilangan uang yang tidak sedikit—Rp 61 juta, lenyap begitu saja. Padahal uang tersebut saya kumpulkan sedikit demi sedikit untuk dana keperluan tak terduga seperti pengobatan kalau tiba-tiba sakit, mengingat usia saya yang sudah tidak muda lagi yakni 71 tahun
Ironisnya, saya ini orang yang sering mengingatkan orang lain, “Hati-hati nanti kamu ketipu.” Tapi kenyataannya, justru saya sendiri yang terjebak dan tertipu.
Semuanya bermula ketika seseorang menghubungi saya lewat WhatsApp. Dia memperkenalkan diri sebagai Dadung , alumnus Seminari Mertoyudan angkatan tahun 1983, dan memasang foto profil dirinya bersama istrinya di WA. Gaya bicaranya sangat akrab, seolah-olah sudah lama kenal. Dia bahkan menyebut nama beberapa teman angkatannya, yang membuat saya yakin bahwa dia memang murid saya dulu waktu di Mertoyudan. Sayangnya, saya tidak mengecek ulang nomornya—satu kelalaian besar saya.
Kemudian dia mulai bercerita tentang bisnisnya. Katanya, dia menjadi penyalur sepeda Brompton. Dia mengaku sudah punya pembeli langganan dari komunitas Tionghoa, tapi karena harga sepeda naik, dia tidak enak menaikkan harga ke pelanggan lama. Lalu dia menawarkan skenario: meminta tolong saya seolah-olah saya menjadi distributor yang menjual sepeda dengan harga lebih tinggi—dari Rp 15 juta ke Rp18 juta—dan keuntungan Rp3 juta akan dibagi dua.
Saya percaya begitu saja dan menuruti sekenario dia
Dia kemudian mengarahkan saya untuk menghubungi “pembeli”, namanya Adi Wijaya yang katanya dari komunitas Tionghoa. Orang ini yang sebetulnya partner Dadung sebagai penipu juga memerankan dirinya dengan sangat meyakinkan. Saya pun mengatur komunikasi dengan pembeli ini , melakukan penawaran sesuai arahan Dadung, hingga akhirnya terjadi kesepakatan: 15 unit sepeda seharga Rp18 juta per unit. Total transaksi mencapai Rp270 juta.
Si pembeli kirim bukti transfer DP 30% (Rp 81 juta) ke rekening bendahara Dadung, namanya Ita, dan meminta saya menyiapkan sepeda dan surat jalan. Dia akan transer 70 % kekuranganannya ke nomer rekening saya ketika barang sudah boleh diambil dan ada surat jalan. Saya pun menyampaikan hal itu ke Dadung, dan dia menyanggupi untuk mengatur pengeluaran barang dan surat jalan. Secara aturan barang boleh keluar kalau bendahara sudah terima seluruh pembayaran. Pertanyaannya siapa yang akan membayar ke bendahara? Dadung menyatakan sanggup untuk menalanginya. Lalu, saat Dadung membayar ke bendara Ita sebesar 70 % (Rp 189 juta) agar barang bisa keluar, muncullah drama baru. Dadung sebagai sutradara mengatakan kepada saya kalau dia tidak berhasil mentransfer uang talangan sebesar 189 juta. Dia hanya bisa transfer Rp100 juta karena limit bank, dan Dadung meminta saya menalangi sisanya sebesar Rp 89 juta.
Saya sempat menolak, bilang tidak punya uang, tapi dia mendesak terus. “Sayang banget ini, Pak. Sudah deal,” katanya. Akhirnya saya luluh. Saya memang tidak ada uang di rekening saya, tapi saya ada uang 61 juta di rekening anak saya. Saya bilang ke Dadung kalau saya ada dana 61 juta di rekening anak saya. Dengan demikian masih ada kekurangan dana sebesar 28 juta. Dadung kemudian menyanggupi untuk pinjam temannya 28 juta, Selanjutnya saya minta tolong anak saya untuk transfer sedikit demi sedikit. Hari itu, uang mengalir dari rekening anak saya, tanpa benar-benar saya sadari bahwa saya sedang disedot habis-habisan oleh penipu. Total yang keluar: Rp 61 juta.
Skenario yang mereka mainkan benar-benar rapi. Semua terasa nyata, masuk akal, dan terstruktur. Saya mengikuti alur mereka seperti tokoh dalam drama. Tapi begitu semua pembayaran selesai, dan saya menanyakan surat jalan serta pengambilan barang, tiba-tiba semua kontak menghilang. Dadung tidak bisa dihubungi lagi.
Saya tertipu. Uang lenyap. Tidak ada sepeda, tidak ada Dadung, tidak ada pembeli. Semua hanya drama fiktif. Skrip seolah ditulis dengan sangat rapi oleh Dadung sebagai sutradara dan pemain sekaligus. Hanya kesedihan karena uang 61 juta lenyap, rasa bersalah, dan malu yang tertinggal.
Beberapa pelajaran yang saya dapatkan:
Kepercayaan kepada orang lain bisa menjadi senjata makan tuan. Orang yang kelihatannya bisa dipercaya justru bisa menjadi pelaku utama yang memanfaatkan kepercayaan itu untuk menipu.
Keinginan mendapatkan keuntungan cepat bisa membutakan akal sehat. Saya tidak berpikir kritis, tidak mengecek fakta, dan membiarkan diri saya mengikuti alur skrip dan jalan pikiran mereka. Penipuan modern sangat canggih. Mereka bermain peran dengan sangat meyakinkan, menyiapkan alur cerita yang detail, dan memanfaatkan emosi dan rasa percaya saya dengan licik.
Sekarang, saya sedang berusaha untuk menerima kenyataan pahit ini. Tidak mudah,. Kemelekatan pada harta milik membuat saya sulit bersikap lepas bebas. Ungkapan “tidak memilih kesehatan lebih dari pada sakit, kekayaan lebih dari pada kemiskinan, kehormatan lebih dari pada penghinaan, hidup panjang lebih dari pada hidup pendek”, ternyata lebih mudah diucapkan dari pada dijalankan.
Saya merasa bersalah pada diri sendiri dan pada keluarga. Tapi saya tahu, saya harus belajar dari sini—sikap percaya pada orang lain tidak boleh hilang dari saya, tapi saya harus lebih kirtits, lebih cermat dan lebih mengutamakan akal sehat dalam bertindak.
Semoga tidak ada lagi yang tertipu seperti saya.
Tq sharing nya mas Hasto👍🙏💪🔥🇮🇩❤️