Jalan sehat di Minggu, 29 September pukul 06.00 lebih sedikit di sepanjang jalur pedestrian Banjir Kanal Timur, Cipinang, Jakarta Timur berlalu biasa saja. Tapi, saya senang. Saya telah melewati sebuah latihan kecil. Buat saya, bangun pagi jam 04.00 itu jelas tantangan. Apalagi di Minggu pagi, hari libur gitu lho. Meskipun istriku bilang, masih jam 04.00 lalu melanjutkan tidur, namun aku tetap bangun, angkat jemuran, mandi, lalu siap-siap.
Janjiannya sih jam 6.00 kami mulai. Tapi, kami mesti jemput Mas Damar cs. Maka mesti bangun lebih pagi. Buat saya no problem. Saat berangkat ke rumah Damar (menjemput mereka karena kebetulan mobil sedang rusak), aku mengajak istriku berefleksi.
Kubuka dengan pertanyaan, “Apa sih yang diperjuangkan dari kegiatan ini?” tanyaku pada dia. Wulan hanya jawab, ya agar badan kita sehat. Lalu, seperti biasa, aku pun bicara panjang lebar mengurai permenungan, refleksi atas kegiatan jalan sehat ini (meskipun belum terlaksana). Aku bilang ke Wulan, jalan sehat ini membutuhkan semangat berkorban karena mesti bangun pagi. Jadi kita belajar berkorban.
Saya sudah janji ke Mas Asmi dan teman-teman, mengajak mereka untuk jalan sehat. Maka saya harus memegang komitmen itu, kataku. “Seseorang itu yang dipegang adalah apa yang dikeluarkan dari mulutnya,”kataku. Maka, apa yang sudah saya janjikan, harus dipenuhi. Janji itu komitmen. Jadi, dengan jalan sehat ini, saya belajar untuk berkorban dan berkomitmen. Selanjutnya, saya bilang, bahwa memegang komitmen itu juga bentuk penghormatan dan penghargaan pada orang lain.
Selanjutnya saya sampaikan ke Wulan, bahwa semangat untuk bisa bangun sepagi itu butuh kehendak kuat. Dalam latihan rohani ini menjadi hal penting. Saya sendiri butuh terus-menerus membangun kehendak kuat setiap saat dan tidak mudah terhambat oleh hal-hal semisal ; tidak ada teman, sedikit yang hadir, kurang dana, atau masalah-masalah lain. Melatih memperkuat kehendak sejauh yang saya jalani membantu saya bisa mencapai banyak hal.
“Martabat kita sebagai manusia salah satunya dinilai dari integritas kita, kesesuaian antara mulut, hati, dan tindakan. Justru ini yang sekarang ini menjadi problem besar di negeri kita. Orang bisa bicara A, tapi melakukan B,”kataku. Ya, ini hal kecil, latihan kecil. Namun, saya masih butuh latihan seperti ini. Saya rasa, banyak dari para senior di Sesawi adalah orang-orang yang punya komitmen tinggi akan satu atau banyak hal. Sudah ahli dalam berkomitmen. Saya bangga berada di antara orang-orang ini.
Refleksi ini, sebenarnya sekaligus ingin nulari istri saya, bagaimana berefleksi sekaligus mengambil makna dari satu kegiatan dengan topik komitmen. Meski kegiatan latihan refleksi sejak 21 tahun lalu sudah ditularkan. Tapi ya, memang tidak mudah.
Kegiatan selesai kurang lebih satu jam lebih sedikit, setidaknya sudah 4 kilometer-an tercapai. Mas Budi Hartono dan Mbak Lili, Mas Adi Pras dengan Mbak Suzi, Mas Asmi dan Mbak Erni, Damar dan Lisa serta Hanah dan Evan anaknya, semuanya menunjukkan wajah-wajah cerita bertemu satu sama lain. Mbak Erni seperti biasa menyediakan termos berisi kopi dan teh, cokelat, pisang, dan apa lagi ya?. Mbak Lili membawa jadah goreng, dan lain-lain. Wulan membawa roti, biskuit. Serunya.
Suatu kali Mbak Suzi nyeletuk dalam satu perbincangan,”Saya sudah tua, kalau kumpul begini takutnya mengganggu yang muda karena bisa nggak nyambung.” Lalu saya menjawab bahwa justru kehadiran para senior ini menjadi sebuah pernyataan bahwa mereka mendukung, memberi kekuatan dan kegembiraan bagi saya. Kehadiran menjadi kata kunci kali ini.
Malah semakin tua, dalam sebuah penelitian, manusia mesti lebih banyak berkumpul dan bercengkerama agar sehat lahir dan batin. Kebersamaan mengingatkan esensi diri kita sebagai makhluk sosial. Kebersamaan membuat manusia makin hepi meski hanya ketemu sebentar dalam acara jalan sehat. Terima kasih para senior yang telah menyempatkan diri untuk hadir. Andalah para malaikat pelindung bagi saya dan kita semua.