Jumat, 15 November 2024
Perayaan Santo Albertus Agung, Uskup dan Pujangga Gereja
Hari ini, 15 November 2024, Gereja mengundang kita untuk merenungkan kasih dan kesiapsiagaan melalui dua bacaan liturgi: Surat Kedua Yohanes 4-9 dan Lukas 17:26-37. Hari ini juga, kita merayakan kenangan akan Santo Albertus Agung, seorang uskup dan pujangga Gereja yang tak hanya setia dalam imannya, tetapi juga mendalami pengetahuan dengan hati yang penuh kasih dan pengertian. Bacaan-bacaan ini mengarahkan kita pada panggilan untuk hidup dalam kesetiaan yang tak tergoyahkan dan kesiapsiagaan yang tak kenal lelah, seperti yang ditunjukkan oleh teladan Santo Albertus Agung.
Mengenali Kasih yang Setia, Refleksi 2 Yohanes 4-9
Surat singkat yang ditulis oleh Yohanes ini disampaikan kepada “Ibu yang terpilih” dan anak-anaknya—sebuah istilah penuh kelembutan yang merujuk pada komunitas gerejawi yang tercinta. Di dalamnya, Yohanes mengungkapkan sukacitanya melihat kesetiaan mereka dalam kebenaran. Kebenaran di sini bukanlah konsep abstrak, tetapi perwujudan nyata dalam kasih yang mengikat setiap anggota komunitas. Namun, di tengah pujian tersebut, ada peringatan yang lembut namun tegas: janganlah membiarkan diri terpengaruh oleh ajaran yang tidak setia pada Kristus.
Raymond Brown, seorang ahli tafsir Katolik, dalam bukunya “The Epistles of John” (Doubleday, 1982), menekankan bahwa kasih yang dimaksudkan oleh Yohanes adalah kasih yang berjalan seiring dengan kebenaran. Ini adalah kasih yang berakar kuat, yang tak bergeming di tengah arus perubahan zaman. Kasih yang sejati, kata Brown, adalah kasih yang menuntut ketaatan, bukan sebagai bentuk kekakuan, tetapi sebagai ekspresi cinta yang murni—kasih yang tahu kepada siapa ia setia.
Tanda Zaman: Injil Lukas 17:26-37
Dalam Injil hari ini, Yesus mengajak kita menelusuri sejarah manusia melalui peristiwa-peristiwa yang tampak biasa, tetapi membawa dampak yang sangat besar. Ia mengingatkan kita pada zaman Nuh dan Lot, di mana orang-orang hidup seperti biasa—makan, minum, menikah—hingga tiba-tiba kehancuran datang. Pesan Yesus bukanlah tentang rasa takut akan akhir zaman, tetapi tentang kesiapsiagaan yang penuh harap. Kita dipanggil untuk berjaga-jaga, bukan dalam kecemasan, melainkan dalam pengharapan yang dipenuhi kasih.
Scott Hahn, dalam “Catholic Bible Dictionary” (Doubleday, 2009), menyoroti bahwa panggilan Yesus ini adalah undangan untuk hidup dengan kesadaran eskatologis—kesadaran bahwa dunia ini hanya sementara. Hidup ini, menurut Hahn, adalah sebuah persiapan untuk sesuatu yang lebih besar, sebuah panggilan untuk selalu waspada dalam kasih, mengingat bahwa kedatangan Tuhan bisa datang kapan saja, dalam keheningan yang mengagetkan.
Menghidupi Kasih dan Kesiapsiagaan di Tengah Kehidupan Sehari-hari
Seperti Santo Albertus Agung yang tidak hanya hidup dalam dunia pemikiran, tetapi juga dalam dunia nyata yang penuh tantangan, kita diajak untuk menghidupi iman dengan kesetiaan yang nyata dalam hal-hal sederhana. Kasih yang setia berarti menghidupi kebenaran dalam setiap langkah, setiap keputusan, dan setiap hubungan. Kesiapsiagaan yang penuh harap berarti tetap berjaga di tengah rutinitas sehari-hari, di tengah kesibukan pekerjaan, di tengah hiruk-pikuk dunia yang seringkali memalingkan kita dari yang benar-benar penting.
Kita bisa lihat dalam hidup sehari-hari kesetiaan seorang guru yang mengajar di sekolah desa terpencil. Meskipun godaan untuk pindah ke kota besar dengan gaji yang lebih tinggi sering datang, ia memilih untuk tetap mengabdi, menyemai nilai-nilai kejujuran dan kebaikan kepada anak-anak didiknya. Baginya, kesetiaan pada panggilan ini adalah bentuk kasih yang nyata, kasih yang menuntun dalam kebenaran, kasih yang tidak mudah goyah meski ada godaan-godaan duniawi.
Kesiapsiagaan juga tampak dalam kehidupan seorang ibu rumah tangga yang, di tengah kesibukan mengurus keluarga, tetap menyisihkan waktu untuk berdoa dan merenung. Di tengah rutinitas sehari-hari yang sering kali melelahkan, ia tetap setia menyediakan waktu bagi Tuhan, sebagai tanda bahwa hidupnya dipersiapkan bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk sesuatu yang lebih besar yang akan datang.
Teladan Santo Albertus Agung: Kasih yang Berpadu dengan Pengetahuan
Santo Albertus Agung adalah contoh hidup dari kasih yang penuh hikmat. Ia adalah seorang ilmuwan dan teolog yang berusaha memahami dunia melalui ilmu pengetahuan, tetapi tetap setia pada ajaran iman. Baginya, mempelajari dunia dan mengejar pengetahuan tidak pernah berarti melepaskan kesetiaan pada Kristus, melainkan justru memperkuat iman dan kasihnya. Santo Albertus mengajarkan kepada kita bahwa pengharapan Kristen adalah pengharapan yang hidup di tengah dunia, tetapi tidak terikat olehnya; pengharapan yang bertumpu pada kasih yang sejati, yang selalu waspada dan siap menyambut Tuhan kapan saja.
Kedua bacaan hari ini, bersama dengan teladan Santo Albertus Agung, mengundang kita untuk hidup dalam kasih yang sejati dan kesiapsiagaan yang penuh harap. Hidup yang setia pada nilai-nilai kebenaran di tengah dunia yang terus berubah bukanlah sesuatu yang mudah. Tetapi kita dipanggil untuk tidak takut menghadapi perubahan, karena dalam perubahan itulah kasih kita diuji dan dikuatkan. Kesiapsiagaan kita bukanlah untuk menanti dengan cemas, melainkan untuk hidup dengan penuh pengharapan bahwa Tuhan, dalam kasih-Nya, akan datang pada saat yang tidak terduga, membawa kita ke dalam kepenuhan kasih yang sejati.
Daftar Pustaka
- Brown, Raymond. The Epistles of John. New York: Doubleday, 1982.
- Hahn, Scott. Catholic Bible Dictionary. New York: Doubleday, 2009.
- Lewis, C.S. The Four Loves. London: HarperCollins, 1960.
- McBrien, Richard P. Catholicism. San Francisco: HarperSanFrancisco, 1994.
- Benedict XVI. Jesus of Nazareth: Holy Week: From the Entrance Into Jerusalem to the Resurrection. San Francisco: Ignatius Press, 2011.