Kamis, 05 Desember 2024
Di tengah dunia yang selalu berubah, firman Tuhan tetap menjadi jangkar bagi iman kita. Yesaya 26:1-6 dan Matius 7:21, 24-27 menawarkan dua gambaran yang kaya tentang bagaimana kehidupan yang berakar dalam kebenaran ilahi menjadi benteng yang tak tergoyahkan. Keduanya berbicara tentang perlunya fondasi yang kokoh, baik dalam iman maupun dalam tindakan, untuk menghadapi badai kehidupan yang tak terhindarkan.
Nabi Yesaya, dalam pasal 26, mengundang kita masuk ke dalam kota yang kokoh, yang temboknya bukan dari batu, melainkan keselamatan. “Percayalah kepada TUHAN selama-lamanya, sebab TUHAN ALLAH adalah gunung batu yang kekal” (Yesaya 26:4). Ayat ini menggema seperti nyanyian harapan, yang menekankan kesetiaan Tuhan sebagai landasan bagi hidup kita. John Oswalt dalam The Book of Isaiah: Chapters 1-39 (1986), melihat kota ini sebagai simbol umat yang setia, yang hidup dalam keadilan dan kebenaran Tuhan. Kota itu bukan hanya tempat perlindungan fisik, tetapi juga pengharapan rohani yang menjadi penuntun dalam masa-masa sulit.
Sementara itu, dalam Injil Matius, Yesus memberikan peringatan yang tegas. Tidak semua orang yang berseru, “Tuhan, Tuhan,” akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, tetapi hanya mereka yang melakukan kehendak Bapa. Yesus mengilustrasikan ajaran-Nya dengan perumpamaan dua orang yang membangun rumah mereka. Yang satu membangun di atas batu, yang lain di atas pasir. Saat badai datang, hanya rumah di atas batu yang tetap berdiri. R.T. France, dalam The Gospel of Matthew (2007), menyebut perumpamaan ini sebagai puncak Kotbah di Bukit, yang menantang pendengar untuk tidak hanya mendengar firman, tetapi juga melakukannya dengan setia.
Gambaran batu sebagai dasar tidak hanya merujuk pada kekuatan dan stabilitas, tetapi juga pada kesetiaan dan ketekunan dalam melaksanakan kehendak Tuhan. Hidup di atas dasar yang kokoh berarti hidup dalam relasi yang mendalam dengan Tuhan, yang diwujudkan melalui ketaatan dalam tindakan sehari-hari. Ketaatan itu bukan hanya kewajiban, tetapi juga ekspresi cinta yang lahir dari iman yang teguh.
Apa yang menghubungkan kedua bacaan ini adalah panggilan untuk hidup dengan iman yang berakar pada Tuhan sebagai dasar, dan tindakan yang selaras dengan kehendak-Nya. Dalam The Theology of the Gospel of Matthew (1995), Ulrich Luz menekankan bahwa iman yang sejati adalah iman yang dihidupi, bukan sekadar diucapkan. Itulah sebabnya Yesus menggarisbawahi pentingnya menjadi pelaku firman, bukan hanya pendengar.
Saat badai kehidupan menghantam, kita sering kali dihadapkan pada kenyataan apakah dasar hidup kita cukup kuat untuk menopang kita. Yesaya memberikan janji bahwa Tuhan adalah gunung batu yang kekal, tempat kita dapat berlindung. Sementara Yesus mengajarkan bahwa hanya melalui tindakan nyata, iman kita menemukan kekuatan sejatinya. Dua bacaan ini bersatu dalam pesan yang mendalam: hidup dalam janji Tuhan berarti membangun hidup di atas dasar yang kokoh, yang tak akan runtuh meski badai melanda.
Daftar Pustaka
- France, R.T. The Gospel of Matthew. Grand Rapids: Eerdmans, 2007.
- Luz, Ulrich. The Theology of the Gospel of Matthew. Cambridge: Cambridge University Press, 1995.
- Oswalt, John N. The Book of Isaiah: Chapters 1-39. Grand Rapids: Eerdmans, 1986.