SELASA, 15 APRIL 2025 – PEKAN SUCI
Dalam kesunyian hati yang terusik oleh pengkhianatan dan penderitaan yang akan datang, Yesaya 49:1-6 menggemakan suara sang Hamba Tuhan yang dipanggil sejak dalam kandungan. Sebuah seruan yang lirih namun penuh kekuatan, membawa pesan penghiburan dan keagungan dalam misi ilahi. “Ia membuat mulutku seperti pedang tajam,” kata sang nabi, menggambarkan betapa sabda Allah bukan sekadar wacana, tetapi senjata yang membelah kenyataan, memotong ilusi, dan membuka jalan baru bagi keselamatan.
Yesaya tidak berbicara tentang kekuatan yang menindas, melainkan kekuatan yang tersembunyi, kekuatan dari seseorang yang merasa “sia-sia” namun tetap taat. Tafsir Raymond C. Ortlund Jr. dalam “Isaiah: God Saves Sinners” (2005) menyoroti bahwa inilah kekuatan paradoks: ketika hamba Allah merasa tidak berguna, di situlah Allah menyatakan kemuliaan-Nya. Ketika dunia melihat kegagalan, Allah melihat ketaatan sebagai kemenangan.
Mazmur 71 menyambut keluhan itu dengan kepercayaan yang dalam: “Pada-Mu ya TUHAN, aku berlindung.” Di tengah ancaman dan kekuatan musuh, pemazmur tidak meminta senjata, melainkan penyertaan Allah yang setia. Di sinilah jiwa orang beriman bergantung: bukan pada hasil yang kelihatan, tetapi pada kesetiaan yang tersembunyi, yang telah dikenalnya sejak dalam kandungan. William L. Holladay dalam “The Psalms through Three Thousand Years” (1993) menekankan bahwa Mazmur 71 adalah nyanyian iman seorang tua yang mengenang kebaikan Tuhan dalam hidupnya — dan dari ingatan itu tumbuh harapan.
Injil Yohanes 13:21-33.36-38 membuka babak gelap dalam malam pengkhianatan. Yesus yang tadi membasuh kaki para murid kini menggetarkan mereka dengan kata-kata: “Salah satu dari kamu akan menyerahkan Aku.” Dalam ruang perjamuan yang sunyi, ketegangan menebal. Yudas, yang selama ini berjalan bersama, kini menjadi cermin dari setiap hati yang pernah mengkhianati kasih. Yesus membiarkan pengkhianatan itu terjadi bukan karena Ia tak berdaya, tetapi karena Ia tahu bahwa cinta sejati menanggung luka, bahkan dari tangan sahabat.
Di sisi lain, Petrus — simbol semangat dan keberanian — menjanjikan kesetiaan sehidup semati, hanya untuk mendengar nubuat pahit: “Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” Di sinilah, seperti dikatakan oleh N.T. Wright dalam “John for Everyone, Part 2” (2004), kita menemukan narasi yang menembus segala drama manusia: kasih yang terluka, pengharapan yang rapuh, dan panggilan untuk tetap berjalan bersama Tuhan bahkan dalam pengkhianatan dan penyangkalan.
Yesus tahu Ia akan dikhianati, tahu Ia akan disangkal, namun Ia tetap memilih untuk mencintai. Seperti Hamba dalam Yesaya, seperti pemazmur yang berpegang pada kasih karunia, Yesus menunjukkan bahwa jalan ke salib bukan jalan kekalahan, melainkan jalan penggenapan. Ia tahu siapa yang akan meninggalkan-Nya, tetapi Ia tetap membasuh kaki mereka. Ia tahu siapa yang akan menusuk hati-Nya, tetapi Ia tetap mengundang mereka duduk di meja-Nya.
Renungan hari ini mengajak kita melihat ke dalam hati sendiri. Di mana kita berdiri? Apakah kita sang Petrus yang terlalu cepat menjanjikan kesetiaan? Ataukah sang Yudas yang diam-diam merencanakan jalan sendiri? Atau mungkin sang Hamba dalam Yesaya, yang tetap setia meski merasa usahanya sia-sia? Apa pun itu, seperti pemazmur yang berkata, “Engkau telah mengajar aku sejak kecil,” kita pun percaya: Allah yang memulai karya-Nya dalam kita tidak akan berhenti hingga Ia menyempurnakannya — bahkan lewat luka, bahkan lewat air mata.
Daftar Pustaka
- Holladay, William L. The Psalms through Three Thousand Years: Prayerbook of a Cloud of Witnesses. Fortress Press, 1993.
- Ortlund, Raymond C. Jr. Isaiah: God Saves Sinners. Crossway, 2005.
- Wright, N.T. John for Everyone: Chapters 11-21. SPCK Publishing, 2004.
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John XIII–XXI. Anchor Yale Bible Commentary, 1970.