Jumat Agung, 16 April 2025
“Ia Ditikam Karena Pemberontakan Kita”
Sore menggantung sepi di atas bukit Golgota. Tidak ada kemuliaan duniawi di sana. Hanya darah yang menetes, tubuh yang tergantung, dan mata yang menatap tanpa bisa menangkap arti penderitaan sedalam itu. Bacaan dari Yesaya 52:13–53:12, Surat kepada orang Ibrani (Ibr. 4:14-16; 5:7-9), dan Injil Yohanes 18:1–19:42 bukan sekadar kisah sengsara seorang manusia, melainkan denting nyaring cinta yang merobek batas langit dan bumi.
Nabi Yesaya, dalam lirik puitis yang pekat dengan luka, menubuatkan sosok Hamba Tuhan yang “ditikam karena pemberontakan kita, diremukkan karena kejahatan kita” (Yes. 53:5). Hamba itu bukan pahlawan seperti yang dibayangkan manusia—tidak gagah, tidak rupawan—melainkan sosok yang menyelamatkan lewat penderitaan, bukan kekuasaan. Dalam teologi Walter Brueggemann (The Prophetic Imagination, 2001), Yesaya di sini bukan sekadar menyampaikan masa depan, tapi mengundang kita melihat kembali struktur dunia yang ditopang kekerasan, dan menyadari bahwa kasih sejati justru hadir dalam bentuk paling rapuh: pengorbanan.
Penulis Surat kepada Orang Ibrani memandang Kristus sebagai Imam Besar yang memahami kelemahan kita, karena Ia sendiri “telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” Dalam tafsir Raymond E. Brown (The Death of the Messiah, 1994), hal ini menjelaskan mengapa kematian Yesus bukan sekadar tragedi, tetapi puncak solidaritas ilahi dengan manusia. Ia menangis, gemetar, berdoa dengan airmata, tapi justru karena itulah Ia menjadi Juru Selamat yang sesungguhnya. Dalam Yesus, Tuhan menjadi manusia yang penuh empati, bukan sekadar pemimpin dari kejauhan.
Injil Yohanes memperlihatkan Yesus yang sangat sadar akan panggilannya. Ia tidak dirobohkan, tapi menyerahkan nyawa-Nya. Ketika berkata “Sudah selesai” (Yoh. 19:30), itu bukan kata kekalahan, melainkan deklarasi kemenangan—bahwa rencana kasih Allah telah genap. Di atas kayu salib, segala yang manusia takutkan—pengkhianatan, penderitaan, kehinaan, kematian—diserap oleh Sang Anak Domba untuk menebus dunia.
Dalam situasi kita hari ini, di mana kekerasan, pengkhianatan, dan ketidakadilan masih begitu nyata, kisah sengsara ini memaksa kita bertanya: bagaimana kita merespons penderitaan? Apakah kita seperti Petrus yang menyangkal karena takut? Atau Pilatus yang mencuci tangan karena lebih mementingkan kedudukan? Atau Maria dan Yohanes yang tetap berdiri di kaki salib meski penuh duka?
Refleksi Jumat Agung bukan tentang kesedihan tanpa arah. Ini adalah pengingat bahwa kasih yang sejati selalu melibatkan luka. Dalam dunia yang memuja kekuatan, Kristus menunjukkan jalan lain: jalan kerendahan hati, pengampunan, dan kesetiaan sampai akhir. Di atas salib, cinta menjadi nyata. Ia ditikam bukan untuk menakut-nakuti kita, tapi agar kita tahu: tak ada dosa yang terlalu berat, tak ada luka yang tak bisa ditebus.
Maka, biarlah kita hening hari ini, menatap Salib bukan dengan ngeri, tetapi dengan syukur. Sebab dalam darah dan air yang mengalir dari lambung-Nya, mengalir pula harapan bagi dunia yang lelah dan terluka.
Daftar Pustaka:
- Brueggemann, Walter. The Prophetic Imagination. Fortress Press, 2001.
- Brown, Raymond E. The Death of the Messiah, Vol. 1 & 2. Yale University Press, 1994.
- Moltmann, Jürgen. The Crucified God. SCM Press, 1974.
- N. T. Wright. The Day the Revolution Began: Reconsidering the Meaning of Jesus’s Crucifixion. HarperOne, 2016.