RABU, 07 MEI 2025
Dalam riuh dunia yang retak oleh penderitaan dan kehausan akan harapan, kisah dalam Kisah Para Rasul 8:1b-8 membuka jendela akan kuasa Injil yang menembus batas. Setelah kematian Stefanus, gereja purba mengalami pengejaran hebat. Namun dari reruntuhan penganiayaan itu, muncullah Filipus, yang melangkah ke wilayah Samaria dengan membawa terang. Injil tak berhenti di Yerusalem. Justru dalam tekanan dan kepedihan, kabar sukacita mekar lebih lebar. Orang banyak menyaksikan tanda-tanda, mendengar sabda, dan mengalami kesembuhan. Mereka dipenuhi sukacita besar. Ini bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan pola yang tetap hidup: dari luka, tumbuh kehidupan baru.
Mazmur 66 menggema dengan seruan yang lahir dari pengalaman kelepasan: “Bersorak-sorailah bagi Allah, hai seluruh bumi!” Ini bukan pujian yang lahir dari kemudahan, tapi dari pengakuan akan karya penyelamatan yang nyata. Mazmur ini adalah litani syukur bagi Allah yang mengubah laut menjadi tanah kering, yang menuntun umat di tengah pencobaan, dan tetap memelihara mereka. Dalam terang bacaan ini, penderitaan bukan akhir cerita, melainkan panggung bagi karya Allah yang tak tertaklukkan.
Lalu dalam Yohanes 6:35-40, Yesus berbicara tentang diri-Nya sebagai roti hidup. Ia adalah jawaban atas kelaparan terdalam manusia: bukan hanya lapar akan makanan, tetapi akan makna, relasi, pengampunan, dan kasih. Ketika Ia berkata, “Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi,” Ia mengundang kita untuk melihat hidup bukan sebagai perlombaan mengisi kekosongan, tetapi sebagai ziarah menuju Dia yang memberi hidup sejati.
Roti hidup ini bukanlah simbol belaka. Seperti dikatakan Raymond E. Brown dalam The Gospel According to John (1970), Injil Yohanes memakai simbol-simbol yang dalam dan konkret untuk menunjukkan realitas spiritual. Roti bukan sekadar pengganti makanan fisik, tapi lambang dari kehadiran Allah yang memberi diri-Nya seutuhnya bagi manusia.
Sementara itu, teolog Skotlandia, Lesslie Newbigin dalam The Household of God (1953) menekankan bahwa gereja sejati bukan dibentuk oleh kenyamanan atau stabilitas, tetapi oleh perjumpaan dengan Kristus yang hidup—di tengah perpecahan, penderitaan, bahkan penganiayaan. Bacaan Kisah Para Rasul hari ini adalah bukti nyata: saat gereja dianiaya, justru ia menyebarkan terang lebih luas.
Dalam permenungan ini, kita diingatkan: kadang kita harus “terusir” dari zona nyaman agar bisa menjadi Filipus, membawa harapan ke tempat yang paling tak terduga. Kadang, pujian terdalam lahir dari lembah air mata. Dan kadang, roti sejati ditemukan justru ketika semua yang lain tak lagi memuaskan. Yesus tak menjanjikan kemudahan, tapi Dia menjanjikan kepenuhan. Ia menjanjikan hidup kekal—yang dimulai di sini, saat kita datang kepada-Nya dengan lapar dan diterima dalam kasih-Nya yang tak menolak siapa pun.
Daftar Pustaka:
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John. New York: Doubleday, 1970.
- Newbigin, Lesslie. The Household of God: Lectures on the Nature of the Church. London: SCM Press, 1953.
- Wright, N.T. Surprised by Hope: Rethinking Heaven, the Resurrection, and the Mission of the Church. New York: HarperOne, 2008.