Kamis, 31 Oktober 2024
Efesus 6:10-20 dan Lukas 13:31-35 adalah dua bacaan hari ini yang mengajak kita merenungkan panggilan hidup beriman. Kedua bacaan ini menunjukkan bagaimana kita dapat bertahan dalam iman, berjuang dan mencintai seperti Kristus sekaligus terbuka terhadap kasih Tuhan yang selalu ingin menyatukan umat-Nya.
Dalam Efesus 6:10-20, Rasul Paulus memberikan panduan mendasar kepada umat beriman: kita harus melengkapi diri dengan “seluruh perlengkapan senjata Allah.” Rasul Paulus menggunakan bahasa peperangan rohani untuk menggambarkan bagaimana hidup orang Kristen adalah perjuangan melawan kuasa gelap. Melalui kata-katanya, Paulus mengingatkan bahwa kita menghadapi lawan yang tidak kasat mata—roh-roh jahat yang mempengaruhi dunia. Namun, ia meyakinkan bahwa Allah menyediakan perlindungan yang kuat bagi kita.
Seperti seorang prajurit, kita perlu mengenakan “sabuk kebenaran,” “baju zirah keadilan,” “perisai iman,” “helm keselamatan,” dan “pedang Roh, yaitu firman Allah.” Tiap bagian dari perlengkapan ini bukanlah senjata fisik, melainkan sikap iman yang memungkinkan kita menghadapi segala pencobaan dan godaan. Misalnya, “sabuk kebenaran” menggambarkan integritas dan kejujuran, yang membuat kita tidak mudah tergoda oleh tipu daya. “Perisai iman” menggambarkan keyakinan yang tak tergoyahkan kepada Tuhan, yang melindungi kita dari serangan dan keraguan yang datang dari luar.
Santo Ignatius Loyola memandang pentingnya sikap batin ini. Ia mengembangkan metode pembedaan roh yang membantu kita untuk mampu memahami diri sendiri apakah sudah berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam perspektif ini, mengenakan perlengkapan Allah tidak hanya tentang menghadapi tantangan dari luar, tetapi juga menjaga batin agar senantiasa tertuju pada kehendak Tuhan. Paus Fransiskus pun menegaskan bahwa doa adalah salah satu “senjata” terpenting dalam menghadapi peperangan rohani. Doa, menurutnya, menjadi kekuatan spiritual yang tidak hanya memperkuat, tetapi juga membawa perdamaian batin yang melindungi kita dari pengaruh negatif.
Kasih Tuhan yang Tak Terbatas
Dalam Lukas 13:31-35, kita menemukan Yesus menghadapi ancaman dari Herodes. Meski para Farisi memperingatkan agar Ia pergi dari Yerusalem, Yesus tetap bertekad melanjutkan perjalanan-Nya. Ayat ini menunjukkan keberanian Yesus dan kesetiaan-Nya pada misi keselamatan. Namun, ayat ini juga mengungkapkan sisi lain: hati Yesus yang penuh kasih terhadap umat-Nya, bahkan yang menolak-Nya. Ia menyatakan, “berapa kali Aku ingin mengumpulkan anak-anakmu, seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau.”
Ungkapan ini menggambarkan kasih Tuhan yang lembut dan penuh kesabaran. Di sini, Yesus menggunakan gambaran induk ayam sebagai sosok pelindung bagi anak-anaknya. Yesus ingin menyatukan umat manusia, merangkul mereka dalam perlindungan-Nya, tetapi kebebasan manusia sering kali membuat mereka menolak panggilan itu. Ungkapan ini adalah lambang belas kasih Tuhan yang tak terbatas. Allah, melalui Kristus, datang untuk menyatukan dan melindungi, tetapi dalam kebebasan yang diberikan kepada manusia, Ia tetap menghormati pilihan mereka.
St. Thomas Aquinas menguraikan konsep ini dalam pandangan tentang agape atau kasih tanpa syarat. Menurutnya, Tuhan adalah kasih yang terus menawarkan diri-Nya bahkan ketika manusia menolak. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Gereja adalah perpanjangan dari kasih Tuhan ini. Gereja, seperti Yesus, ingin merangkul semua orang, menyampaikan belas kasih ilahi, dan mengingatkan umat bahwa Tuhan selalu siap menerima mereka kembali, apapun kesalahan mereka.
Keteguhan Iman
Kedua teks ini mengingatkan kita akan panggilan hidup Kristen yang penuh kasih dan keberanian dalam menghadapi tantangan. Dari Efesus, kita belajar bahwa hidup Kristen membutuhkan keteguhan iman, ketegasan dalam kebenaran, dan ketekunan dalam doa. Sementara itu, Lukas menunjukkan bahwa kasih Tuhan itu tanpa batas, kasih yang selalu siap menerima kita kembali bahkan ketika kita sering menolak-Nya.
Bagi kita, kedua bacaan ini menjadi undangan untuk berserah pada Tuhan dalam hidup sehari-hari. Kita dipanggil untuk berani mengenakan “perlengkapan senjata Allah,” dan dengan itu, kita melindungi hati kita dari godaan dan kekuatan yang bisa menjauhkan dari-Nya. Di sisi lain, kita juga diajak untuk membuka hati pada kasih Tuhan yang penuh pengampunan, yang selalu ingin merangkul kita di bawah naungan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
- Thérèse dari Lisieux. Story of a Soul: The Autobiography of St. Thérèse of Lisieux. Washington, D.C.: ICS Publications, 1976.
- Aquinas, Thomas. Summa Theologiae. New York: Benziger Brothers, 1947.
- Benedict XVI, Pope. Jesus of Nazareth: Holy Week: From the Entrance into Jerusalem to the Resurrection. San Francisco: Ignatius Press, 2011.
- Fransiskus, Paus. Evangelii Gaudium (The Joy of the Gospel): Apostolic Exhortation. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2013.
- Ignatius dari Loyola. Latihan Rohani Santo Ignatius. Diterjemahkan oleh J.B. Tjahjadi. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
- Konsili Vatikan II. Lumen Gentium (Dogmatic Constitution on the Church). Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1964.